Sabtu, 18 Desember 2010

Peraturan Kapolri No.20 Thn 2010 Ttg Korwas PPNS

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2010
TENTANG
KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN
BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan penegakan hukum sesuai
sistem peradilan pidana terpadu, Kepolisian Negara Republik
Indonesia selaku penegak hukum bertugas melakukan
penyidikan tindak pidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangannya;
b. bahwa secara fungsional tugas penyidikan tindak pidana
dilaksanakan oleh pengemban fungsi Reserse Kriminal
Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dalam
pelaksanaannya dapat dibantu oleh Penyidik Pegawai
Negeri Sipil;
c. bahwa Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil diberikan
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melaksanakan
penyidikan tindak pidana yang termasuk dalam lingkup
kewenangannya, berada di bawah koordinasi, pengawasan
dan pembinaan Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
tentang Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Penyidikan
Bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN
PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI
SIPIL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah
alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri;
2. Penyidik adalah pejabat Polri yang diangkat dan diberi wewenang khusus
oleh undang-undang untuk melakukan peyidikan;
3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan ditunjuk selaku Penyidik dan mempunyai wewenang
untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing;
4. Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya;
5. Koordinasi adalah suatu bentuk hubungan kerja antara Penyidik Polri dengan
PPNS dalam melakukan penyidikan tindak pidana tertentu yang menjadi
dasar hukumnya, sesuai sendi-sendi hubungan fungsional;
6. Pengawasan adalah proses penilikan dan pengarahan terhadap pelaksanaan
penyidikan oleh PPNS untuk menjamin agar seluruh kegiatan penyidikan
yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
7. Pembinaan teknis yang selanjutnya disebut pembinaan adalah proses
kegiatan yang dilakukan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk
meningkatkan kemampuan PPNS di bidang teknis dan taktis penyidikan;
8. Bantuan Penyidikan adalah bantuan yang diberikan oleh Penyidik Polri
kepada PPNS berupa bantuan teknis, taktis dan upaya paksa serta konsultasi
penyidikan;
9. Bantuan Teknis adalah bantuan pemeriksaan ahli dalam rangka pembuktian
secara ilmiah (Scientific Crime Investigation);
10. Bantuan Taktis adalah bantuan personel Polri dan peralatan Polri dalam
rangka mendukung pelaksanaan penyidikan tindak pidana oleh PPNS;
11. Bantuan upaya paksa adalah bantuan yang diberikan oleh penyidik Polri
kepada PPNS berupa kegiatan penindakan secara hukum dalam rangka
penyidikan baik kepada PPNS yang memiliki kewenangan maupun yang tidak
memiliki kewenangan penindakan;
12. Laporan kejadian adalah laporan tertulis yang dibuat oleh PPNS tentang
adanya suatu peristiwa pidana yang sedang dan telah terjadi, baik yang
ditemukan sendiri maupun melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh
seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang;
13. Gelar Perkara adalah kegiatan penyidik dan PPNS untuk memaparkan
perkara dan tindakan yang akan, sedang dan telah dilakukan penyidikan,
guna memperoleh kesimpulan;
14. Keadaan tertentu adalah keadaan luar biasa yang memerlukan penanganan
secara khusus.
Pasal 2
Pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pembinaan penyidikan bagi PPNS oleh
Penyidik, dilakukan berdasarkan prinsip:
a. kemandirian, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan dilaksanakan
dengan tidak mengurangi eksistensi/keberadaan instansi PPNS dan
dijalankan secara profesional;
b. legalitas, yakni koordinasi, pengawasan dan pembinaan diselenggarakan
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku;
c. kebersamaan, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan tidak
mengurangi integritas pimpinan dan kewenangan masing-masing instansi
PPNS yang dilandasi sikap saling menghormati tugas dan wewenang serta
hierarki masing-masing;
d. akuntabilitas, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan
oleh Penyidik terhadap PPNS dalam proses pelaksanaan penyidikan yang
dilakukan oleh PPNS dapat dipertanggungjawabkan;
e. transparansi, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan memperhatikan
asas keterbukaan dan bersifat informatif bagi pihak-pihak terkait;
f. efektif dan efisien, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan yang
dilakukan oleh Penyidik terhadap PPNS dalam proses penyidikan tepat waktu
dengan biaya ringan serta berpedoman pada keseimbangan yang wajar
antara sumber daya yang dipergunakan; dan
g. kewajiban, yaitu pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pembinaan
terhadap penyidikan yang dilakukan oleh PPNS, Penyidik secara aktif diminta
ataupun tidak diminta wajib memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan
yang diperlukan.
Pasal 3
Tujuan peraturan ini sebagai pedoman bagi penyidik dalam melaksanakan
koordinasi, pengawasan dan pembinaan penyidikan terhadap PPNS dalam
menjalankan fungsi, peran, tugas dan tanggung jawab penyidikan.
BAB II
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Penyidik
Pasal 4
(1) Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
penyidik bertugas melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan
penyidikan yang dilakukan oleh PPNS.
(3) Koordinasi, pengawasan dan pembinaan penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan oleh:
a. pengemban fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri pada tingkat Mabes
Polri;
b. pengemban fungsi Korwas PPNS Dit Reskrim pada tingkat Polda; dan
c. pengemban fungsi Korwas PPNS Satreskrim pada tingkat
Polrestabes/Polresmetro/Polres/Polresta.
Bagian Kedua
PPNS
Pasal 5
PPNS mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan
tugasnya berada di bawah koordinasi, pengawasan dan pembinaan Penyidik.
BAB III
KOORDINASI
Pasal 6
(1) Penyidik melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan tugas penyidikan yang
dilakukan oleh PPNS.
(2) Koordinasi dilakukan sejak PPNS memberitahukan dimulainya penyidikan
kepada Penuntut Umum melalui penyidik.
(3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam
bentuk kegiatan:
a. menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) oleh
PPNS;
b. memberi bantuan teknis, taktis, upaya paksa dan konsultasi
penyidikan kepada PPNS untuk penyempurnaan dan mempercepat
penyelesaian berkas perkara;
c. menerima berkas perkara dari PPNS dan meneruskan kepada
Penuntut Umum;
d. penghentian penyidikan oleh PPNS;
e. tukar menukar informasi tentang dugaan adanya tindak pidana yang
penyidikannya dilakukan oleh PPNS;
f. rapat secara berkala; dan
g. penyidikan bersama.
Pasal 7
(1) Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a
dilaksanakan dengan cara:
a. lisan sebelum dibuatnya SPDP;
b. menerima SPDP dan lampirannya dari PPNS;
c. meneliti SPDP dan lampirannya bersama PPNS; dan
d. menyusun rencana penyidikan bersama PPNS.
(2) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa:
a. laporan kejadian;
b. surat perintah penyidikan; dan
c. berita acara yang telah dibuat.
Pasal 8
(1) Bantuan teknis dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh PPNS, meliputi
pemeriksaan:
a. laboratorium forensik (labfor);
b. identifikasi; dan
c. psikologi.
(2) Bantuan taktis dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh PPNS, meliputi
bantuan:
a. penyidik;
b. peralatan yang diperlukan; dan
c. pengerahan kekuatan.
(3) Bantuan upaya paksa dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh PPNS,
meliputi:
a. pemanggilan saksi/tersangka di luar wilayah hukum kewenangan
PPNS dan di luar negeri;
b. perintah membawa saksi/tersangka;
c. penangkapan;
d. penahanan;
e. penggeledahan; dan
f. penyitaan.
(4) Bantuan konsultasi dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh PPNS,
meliputi:
a. teknis dan taktis penyelidikan, untuk mencari dan mengumpulkan
bahan keterangan;
b. teknis dan taktis penindakan sesuai dengan kewenangan PPNS;
c. teknis pemeriksaan;
d. petunjuk administrasi penyidikan;
e. petunjuk aspek yuridis;
f. teknis penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut
Umum;
g. teknis penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
h. teknis pembuatan statistik kriminal.
Pasal 9
(1) Penyidik wajib memberikan bantuan penyidikan kepada PPNS.
(2) Dalam hal memerlukan bantuan penyidikan, PPNS mengajukan permintaan
secara tertulis kepada:
a. Kabareskrim Polri melalui pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS;
b. Dir Reskrim Polda melalui pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS;
dan
c. Kapolrestabes/Kapolresmetro/Kapolres/Kapolresta melalui Kasat
Reskrim.
(3) Bantuan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan sampai dengan penyelesaian
dan penyerahan berkas perkara, tersangka dan barang bukti ke Penuntut
Umum.
Pasal 10
(1) Bantuan pemeriksaan labfor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf a, meliputi:
a. pemeriksaan bidang fisika forensik;
b. pemeriksaan bidang kimia dan biologi forensik;
c. pemeriksaan bidang dokumen dan uang palsu forensik; dan
d. pemeriksaan bidang balistik dan metalurgi forensik.
(2) Permohonan pemeriksaan labfor diajukan secara tertulis oleh pimpinan
instansi PPNS kepada Kepala Laboratorium Forensik (Ka Labfor) melalui
pengemban fungsi Korwas setempat dengan menjelaskan maksud dan tujuan
pemeriksaan, dengan dilampiri:
a. laporan kejadian;
b. laporan kemajuan; dan
c. berita acara penemuan, penyitaan, penyisihan, pembungkusan, dan
penyegelan barang bukti.
(3) Dalam hal pemeriksaan labfor memerlukan bahan pembanding, PPNS
mengirimkan bahan pembanding dimaksud dengan melampirkan berita acara
atau surat keterangan otentikasi atau keaslian dari produsen resmi.
Pasal 11
(1) Pemeriksaan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf
b, meliputi:
a. pemeriksaan perbandingan sidik jari laten dengan sidik jari
pembanding;
b. pembuatan sinyalemen file foto daftar pencarian orang;
c. pembuatan foto tempat kejadian perkara, barang bukti dan tersangka;
d. pembuatan lukisan sketsa raut wajah pelaku kejahatan berdasarkan
keterangan saksi; dan
e. pembuatan foto rekonstruksi.
(2) Pemeriksaan identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
petugas identifikasi Polri.
(3) Dalam hal memerlukan bantuan pemeriksaan identifikasi, PPNS mengajukan
surat permintaan kepada pejabat pengemban fungsi identifikasi Polri melalui
pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat, dengan melampirkan:
a. laporan kejadian;
b. laporan kemajuan;
c. berita acara pemeriksaan saksi/tersangka; dan
d. dalam pemeriksaan sidik jari disertai dengan barang bukti sidik jari
laten dan sidik jari pembanding.
(4) Dalam keadaan tertentu permintaan pemeriksaan identifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat didahului secara lisan dan segera mengirimkan
surat permintaan.
Pasal 12
(1) Pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf
c, meliputi:
a. motivasi melakukan tindak pidana; dan
b. profil psikologi saksi dan/atau tersangka;
(2) Pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
petugas psikologi Polri.
(3) Permintaan pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
PPNS mengajukan secara tertulis kepada fungsi Psikologi Polri melalui
pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat.
Pasal 13
(1) Bantuan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a
berdasarkan permintaan PPNS.
(2) Permintaan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara
tertulis kepada pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat dengan
menjelaskan:
a. alasan permintaan bantuan;
b. perkara yang ditangani;
c. waktu penugasan; dan
d. jumlah penyidik.
(3) Dalam keadaan tertentu permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat didahului secara lisan dan segera mengirimkan surat
permintaan.
(4) Penyidik yang diperbantukan kepada PPNS, wajib dilengkapi dengan surat
perintah tugas.
Pasal 14
(1) Bantuan peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b
berdasarkan permintaan PPNS.
(2) Permintaan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara
tertulis kepada pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat dengan
menjelaskan:
a. alasan permintaan bantuan.
b. tujuan penggunaan peralatan;
c. waktu penggunaan; dan
d. jenis dan jumlah peralatan yang diperlukan.
(3) Dalam keadaan tertentu permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat didahului secara lisan, kemudian segera mengirimkan surat
permintaan.
(4) Bantuan peralatan kepada PPNS diberikan beserta personel yang
mengawaki, dan wajib dilengkapi dengan surat perintah tugas.
Pasal 15
(1) Pengerahan kekuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c
berdasarkan permintaan PPNS.
(2) Permintaan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara
tertulis kepada pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat dengan
menjelaskan:
a. alasan permintaan bantuan.
b. tujuan pengerahan kekuatan;
c. waktu penugasan; dan
d. jumlah kekuatan dan kompetensinya.
(3) Bantuan pengerahan kekuatan kepada PPNS berupa personel dan
peralatannya, serta wajib dilengkapi dengan surat perintah tugas.
Pasal 16
Bantuan pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a
dilakukan terhadap saksi/tersangka yang berada:
a. di luar wilayah hukum kewenangan PPNS, oleh penyidik berdasarkan
permintaan PPNS;
b. di luar negeri, oleh penyidik berdasarkan permintaan PPNS, dan
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan Set NCB-Interpol serta Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia.
Pasal 17
(1) Bantuan perintah membawa saksi/tersangka sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) huruf b dilakukan atas surat permintaan PPNS, yang
dilampiri:
a. laporan kejadian;
b. laporan kemajuan;
c. kopi surat panggilan pertama; dan
d. alasan/pertimbangan perlunya dilakukan perintah membawa.
(2) Bantuan perintah membawa saksi/tersangka dilakukan setelah PPNS
memanggil 1 (satu) kali tidak datang tanpa memberi alasan yang sah,
dipanggil sekali lagi dan meminta bantuan penyidik untuk membawa
kepadanya.
(3) Penyidik yang melaksanakan tugas wajib dilengkapi surat perintah tugas dan
surat perintah membawa, serta melibatkan PPNS.
Pasal 18
(1) Bantuan penangkapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (3) huruf c
dilakukan atas surat permintaan PPNS, memuat uraian singkat perkara,
identitas tersangka dan pertimbangan perlunya dilakukan penangkapan.
(2) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri:
a. laporan kejadian; dan
b. laporan kemajuan.
(3) Penyidik setelah menerima surat permintaan bantuan penangkapan dari
PPNS, wajib segera mempelajari dan mempertimbangkan perlu tidaknya
diberikan bantuan penangkapan.
(4) Dalam hal penyidik menyetujui permintaan, wajib segera mempersiapkan
personel, peralatan dan administrasi penangkapan, serta mengkoordinasikan
pelaksanaannya dengan PPNS.
(5) Setelah berhasil melakukan penangkapan, penyidik segera menyerahkan
tersangka beserta administrasi penangkapan kepada PPNS, dan dituangkan
dalam berita acara penyerahan tersangka.
(6) Penyidik memberitahukan penangkapan tersangka kepada keluarga atau
kuasa hukumnya.
Pasal 19
(1) Bantuan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf d
dilakukan atas surat permintaan PPNS yang memuat uraian singkat perkara,
identitas tersangka, pasal yang dilanggar dan pertimbangan perlunya
dilakukan penahanan.
(2) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri:
a. laporan kejadian; dan
b. laporan kemajuan;
(3) Penyidik setelah menerima surat permintaan bantuan penahanan dari PPNS,
wajib segera mempelajari dan mempertimbangkan perlu tidaknya dilakukan
penahanan.
(4) Penyidik menyerahkan administrasi penahanan kepada PPNS, untuk
kelengkapan berkas perkara.
(5) Penyidik memberitahukan penahanan tersangka kepada keluarga atau kuasa
hukumnya.
(6) Tenggang waktu pengajuan surat permintaan PPNS kepada penyidik dalam
hal akan melakukan:
a. perpanjangan masa penahanan, paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum
batas waktu penahanan habis;
b. pembantaran penahanan, paling lambat 2 (dua) hari sebelum
dibantarkan;
c. penangguhan penahanan, paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
ditangguhkan;
d. pengalihan jenis penahanan, paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
dialihkan; dan
e. pengeluaran penahanan, paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
dikeluarkan.
Pasal 20
(1) Bantuan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (3) huruf
e dilakukan atas surat permintaan PPNS, memuat uraian singkat perkara,
sasaran penggeledahan, dan pertimbangan perlunya dilakukan
penggeledahan.
(2) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri:
a. laporan kejadian; dan
b. laporan kemajuan;
(3) Penyidik setelah menerima surat permintaan bantuan penggeledahan dari
PPNS, wajib segera mempelajari dan mempertimbangkan dapat tidaknya
diberikan bantuan penggeledahan.
(4) Dalam hal penyidik menyetujui permintaan, wajib segera mempersiapkan
personel, peralatan dan administrasi penggeledahan, serta
mengkoordinasikan pelaksanaannya dengan PPNS.
Pasal 21
(1) Bantuan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f
dilakukan atas surat permintaan PPNS, memuat uraian singkat perkara,
sasaran penyitaan, dan pertimbangan perlunya dilakukan penyitaan.
(2) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri:
a. laporan kejadian; dan
b. laporan kemajuan;
(3) Penyidik setelah menerima surat permintaan bantuan penyitaan dari PPNS,
wajib segera mempelajari dan mempertimbangkan perlu tidaknya diberikan
bantuan penyitaan.
(4) Dalam hal penyidik menyetujui permintaan, wajib segera mempersiapkan
personel, peralatan dan administrasi penyitaan, serta mengkoordinasikan
pelaksanaannya dengan PPNS.
Pasal 22
Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf d,
dilakukan sebagai berikut:
a. sebelum PPNS menghentikan penyidikan, dilaksanakan gelar perkara bersama
penyidik;
b. dalam hal hasil gelar perkara menyimpulkan bahwa syarat penghentian
penyidikan telah terpenuhi, maka diterbitkan surat perintah penghentian
penyidikan (SP3) dan surat ketetapan penghentian penyidikan;
c. PPNS mengirimkan surat pemberitahuan penghentian penyidikan kepada:
1. penuntut umum melalui penyidik; dan
2. tersangka atau keluarga dan/atau penasehat hukumnya.
Pasal 23
Tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf e,
dilakukan dalam hal:
a. PPNS menemukan dan/atau menerima informasi, laporan atau pengaduan
masyarakat tentang adanya peristiwa yang diduga tindak pidana di luar
kewenangan PPNS, maka diteruskan kepada penyidik;
b. penyidik menemukan dan/atau menerima informasi, laporan atau pengaduan
masyarakat tentang adanya peristiwa yang diduga tindak pidana yang juga
menjadi wewenang PPNS, maka penyidik dapat melakukan proses
penyidikan atau meneruskan kepada PPNS.
Pasal 24
Penyidikan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf g,
dilaksanakan melalui rapat koordinasi untuk:
a. membentuk Tim Penyidik;
b. menyusun rencana penyidikan:
1. menentukan pasal yang dipersangkakan;
2. menentukan cara bertindak;
3. menentukan waktu kegiatan;
4. menentukan pelibatan personel; dan
5. menentukan sarana, prasarana dan anggaran;
c. menganalisis dan mengevaluasi kegiatan dan hasil;
d. pengendalian.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 25
(1) Penyidik melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyidikan yang
dilakukan oleh PPNS.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
pengemban fungsi Korwas PPNS melalui kegiatan:
a. menghadiri dan memberikan petunjuk dalam gelar perkara yang
dilaksanakan PPNS;
b. meminta dan meneliti laporan kemajuan penyidikan dari PPNS;
c. bersama PPNS meneliti berkas perkara hasil penyidikan yang
dilaksanakan oleh PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum;
d atas dasar permintaan pimpinan instansi PPNS melaksanakan
supervisi bersama ke jajaran PPNS yang bersangkutan;
e. melakukan pendataan jumlah, instansi dan wilayah penugasan PPNS,
penanganan perkara oleh PPNS serta bantuan penyidikan dari
penyidik; dan
f. analisis dan evaluasi pelaksanaan tugas penyidikan yang dilakukan
oleh PPNS.
Pasal 26
(1) PPNS menyelenggarakan gelar perkara terhadap setiap perkara yang
ditangani, dan dapat dihadiri oleh penyidik dan pihak terkait.
(2) Gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada:
a. awal penyidikan;
b. pertengahan penyidikan; dan
c. akhir penyidikan.
(3) Gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan
untuk:
a. menentukan peristiwa yang akan ditangani merupakan tindak pidana
atau bukan;
b. menentukan pasal yang disangkakan;
c. menyusun rencana penyidikan
(4) Gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan
guna:
a. menyempurnakan ketepatan penerapan pasal;
b. mengetahui perkembangan penyidikan;
c. mengetahui dan mengatasi kendala atau kekurangan penyidikan;
d. melengkapi alat bukti; dan
e. menyempurnakan proses penyidikan.
(5) Gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan
guna:
a. menganalisis secara yuridis terhadap keterkaitan saksi, tersangka dan
barang bukti untuk memenuhi unsur-unsur pasal yang disangkakan;
b. menganalisis perbuatan pelaku untuk menentukan peran;
c. mengetahui kelengkapan administrasi penyidikan; dan
d. mengetahui kelengkapan berkas perkara.
Pasal 27
Laporan kemajuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b
sekurang-kurangnya meliputi:
a. jenis tindak pidana;
b. uraian singkat keterangan tersangka, saksi dan ahli;
c. barang bukti;
d. pasal yang disangkakan; dan
e. uraian singkat tindakan yang telah dilaksanakan oleh PPNS.
Pasal 28
Penelitian berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c
meliputi:
a. persyaratan formal; dan
b. persyaratan materiil, dalam hal penyidik berwenang melakukan penyidikan
terhadap perkara yang ditangani oleh PPNS.
Pasal 29
(1) Pendataan PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf e,
dilaksanakan oleh:
a. pengemban fungsi Korwas PPNS di tingkat Polrestabes/Polresmetro/
Polres/Polresta, untuk instansi PPNS di tingkat Kabupaten/Kota;
b. pengemban fungsi Korwas PPNS di tingkat Polda, untuk instansi
PPNS di tingkat Provinsi; dan
c. pengemban fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri, untuk instansi
PPNS di tingkat Pusat.
(2) Pengemban fungsi Korwas di tingkat Polrestabes/Polresmetro/Polres/Polresta
melaporkan data kepada pengemban fungsi Korwas tingkat Polda.
(3) Pengemban fungsi Korwas ditingkat Polda melaporkan data kepada
pengemban fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri.
(4) Pengemban fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri menghimpun data
dimaksud secara nasional.
(5) Pelaporan data dilaksanakan setiap bulan dan setiap tahun.
Pasal 30
(1) Analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf f
meliputi:
a. penanganan perkara oleh PPNS;
b. hambatan penanganan perkara oleh PPNS; dan
c. hambatan Polri dalam melaksanakan koordinasi, pengawasan dan
pembinaan teknis terhadap PPNS.
(2) Penyidik melaksanakan analisis dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas
penyidikan yang dilakukan oleh PPNS setiap 6 (enam) bulan sekali.
BAB V
PEMBINAAN
Pasal 31
(1) Penyidik wajib melaksanakan pembinaan penyidikan kepada PPNS.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Pendidikan dan Latihan (Diklat) fungsi teknis penyidikan; dan
b. peningkatan kemampuan.
Pasal 32
(1) Pelaksanaan Diklat calon PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(2) huruf a oleh Bareskrim Polri setelah dikoordinasikan dengan:
a. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
b. instansi PPNS yang mengirimkan peserta Diklat;
c. Lemdiklat Polri; dan
d. instansi terkait.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terkait dengan
persyaratan, jumlah calon peserta, rekomendasi pengangkatan sebagai
PPNS dan pendataan.
(3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terkait jumlah calon
peserta, waktu, tempat dan jenis Diklat.
(4) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terkait dengan
tempat pelaksanaan dan penyelenggaraan Diklat.
(5) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terkait dengan
narasumber/tenaga pengajar, tes kesehatan dan psykologi.
Pasal 33
(1) Peningkatan kemampuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2)
huruf b meliputi:
a pelatihan/pencerahan fungsi teknis penyidikan; dan
b. seminar;
(2) Pelaksanaan pembinaan penyidikan dilakukan di tingkat Mabes Polri dan di
tingkat Polda.
Pasal 34
(1) Rekomendasi calon PPNS diterbitkan oleh Kapolri yang dapat didelegasikan
kepada Kabareskrim Polri, setelah dinyatakan lulus mengikuti Diklat.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Menteri Hukum dan HAM, untuk diterbitkan keputusan pengangkatan PPNS.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat peraturan ini mulai berlaku, maka:
a. Peraturan Kapolri Nomor 25 Tahun 2007 tentang Koordinasi, Pengawasan
dan Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
b. Peraturan Kapolri Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerbitan Kartu
Tanda Penyidik, Tanda Kewenangan dan Lencana Penyidik Pegawai Negeri
Sipil;
c. Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pembinaan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil; dan
d. Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan dan Latihan Bagi Kepolisian Khusus dan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Kapolri ini diundangkan dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2010
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
Drs. H. BAMBANG HENDARSO DANURI, M.M.
JENDERAL POLISI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 September 2010
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 439

Tidak ada komentar:

Posting Komentar