Sabtu, 18 Desember 2010

Bahan Pelajaran Penyelidikan

PENYELEDIKAN
Penyelidik ialah orang yang melakukan “penyelidikan”. Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditentukan dapat dilakukan “penyidikan” atau tidak sesuai dengan cara yang di atur oleh KUHAP (Pasal 1 butir 5).
Dari penjelasan diatas, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, pengeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
Jadi, sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Barangkali penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Sebelum KUHAP berlaku, terhadap pengertian penyelidikan, dipergunakan perkataan opspornig atau orderzoek, dan dalam peristilahan Inggris disebut investigation. Akan tetapi pada masa HIR pengertian pengusutan atau penyidikan selalu dipergunakan secara kacau. Tidak jelas batas fungsi pengusutan (opsponig) dengan penyidikan. Sehingga sering menimbulkan ketidaktegasan pengertian dan tindakan.
Penegasan pengertian ini sekarang sangat berguna demi untuk kejernihan fungsi pelaksanaan penegakan hukum. Dengan penegasan dan pembedaan antara penyelidikan dan penyidikan:
• telah tercipta penahapan tindakan guna menghindarkan cara-cara penegaka hukum yang tergesa-gesa seperti yang dijumpai pada masa-masa yang lalu. Akibat dari cara-
cara penindakan yang tergesa-gesa, dapat menimbulkan sikap dan tingkah laku aparat penyidik kepolisian sering tergelincir ke arah mempermudah dan menganggap sepele nasib seseorang yang diperiksa;
• dengan adanya tahapan penyelidikan, diharap tumbuh sikap hati-hati dan rasa tanggung jawab hukum yang lebih bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Menghindari cara-cara penindakan yang menjurus kepada mengutamakan pemerasaan pengakuan daripada menemukan keterangan dan bukti-bukti. Apalagi jika pengertian dan tujuan penahapan pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan dihubungkan dengan ketentuan pasal 17, semakin memperjelas pentingnya arti penyelidikan, sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan, agar tidak terjadi tindakan yang melanggar hak-hak asasi yang merendahkan harkat martabat manusia.
Jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengunpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan.
Tuntutan dan tanggung jawab moral yang demikian sekaligus menjadi peringatan bagi aparat penyidik untuk bertindak hati-hati. Sebab kalau kurang hati-hati melakukan penyelidikan, bisa terjadi akibat yang fatal pada tingkat penyidikan yang akan menyeret tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan ke muka sidang “Praperadilan”. Karena sebagaimana yang digariskan KUHAP, memberi hak kepada tersangka/terdakwa menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan yang berlawanan dengan hukum. Kalau begiru sangat beralasan untuk tidak melanjutkan penyelidikan ke tingkat penyidikan, jika fakta dan bukti belum memadai di tangan penyidik. lebih baik kegiatan itu dihentikan atau masih tetapi dibatasi pada usaha-usaha mencari dan menemukan kelengkapan fakta, keterangan, dan barang bukti agar memadai untuk melanjutkan penyidikan.
Memang sikap yang digambarkan sehubungan dengan penyelidikan bisa menjurus ke arah yang merugikan ketertiban dan kepentingan masyarakat, jika syarat dan pembatasan tersebut terlampau sempit diartikan oleh aparat penyidik. Sikap yang terlampau hati-hati, berarti
membiarkan para pelaku tindak pidana dan penjahat berkeliaran sesuka hati. Bukan sikap seperti itu yang dikehendaki oleh pembatasan dan persyaratan penyelidikan. Yang dikehendaki, ketertiban harus tetap ditegakkan dan dijamin, namun sebaliknya dalam menegakkan ketertiban itu, tujukan tindakan itu kepada sasaran yang tepat baik dari segi hukum, pelaku, segi hak asasi, dan dari sudut hukum pembuktian.

A. POLRI SEBAGAI PENYELIDIK
Siapa berwewenang melakukan penyelidikan diatur dalam pasal 1 butir 4 : penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang – undang ini untuk melakukan penyelidikan. Selanjutnya, sesuai dengan pasal 4, yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah “ setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia “ Tegasnya : penyelidik adalah setiap setiap pejabat polri. Jaksa atau pejabat lain tidak berwenang melakukan penyelidikan. Penyelidikan, “monopoli tunggal“ polri. kemanunggalan fungsi dan wewenang penyelisdikan bertujuan :
• menyederhanakan dan memberi kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak dan berwenang melakukan penyelidikan;
• menghilangkan kesimpangsiuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih seperti yang dialami pada masa HIR;
• juga merupakan efesiensi tindakan penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan jika ditangani oleh beberapa instansi , maupun terhadap orang yang diselidiki, tidak lagi berhadapan dengan berbagai macam tangan aparat penegak hukum dalam penyelidikan. Demikian juga dari segi waktu dan tenaga jauh lebih efektif dan efisien.
Dari penegasan bunyi pasal 4 KUHAP, dijernihkan aparat yang berfungsi dan berwenang melakukan penyelidikan, hanya pejabat polri, tidak dibenarkan adanya campur tangan dari instansi dan pejabat lain.

B. FUNGSI DAN WEWENANG PENYELIDIK
Fungsi dan wewenang penyidik meliputi ketentuan yang disebut pada pasal 5 KUHAP, yang dapat dipisahkan ditinjau dari beberapa segi ;

1. Fungsi dan wewenang Berdasar Hukum
ini diatur pada pasal 5 KUHAP. berdasar ketentuan ini fungsi dan wewenang aparat penyelidik:
a. Menerima Laporan atau Pengaduan
Bertitik tolak dari fungsi ini, apabila penyidik menerima suatu “pemberitahuan” atau “laporan” yang disampaikan oleh seseorang, penyidik mempunyai hak dan kewajiban untuk menindaklanjuti. Bisa tentang atau telah sedang ataupun diduga akan terjadi suatu peristiwa pidana, penyelidik wajib dan berwenang menerima “pemberitahuan” yang disertai dengan permintaan oleh pihak yang berkepentingan untuk menindak pelaku “tindak pidana aduan” yang telah merugikannya.
Mengenai laporan atau pengaduan yang dapat diterima:
- Jika laporan pengaduan diajukan secara “tertulis”, harus “ditandatangani” oleh pelapor atau pengadu;
- Jika laporan atau pengaduan diajukan secara “lisan” atau “dicatat” oleh penyelidik dan di “tandatangani” pleh pelapor/pengadu dan penyelidik;
- Jika pelapor atau pengaduan tidak dapat menulis, hal itu harus dicatat dalam laporan pengaduan (Pasal 103).
Prinsip setiap laporan atau pengaduan yang disampaikan kepada penyelidik “wajib” diterima, dan berwenang untuk menanganinya baik hak itu yang bersifat pemberitahuan biasa atau laporan, maupun yang bersifat delik aduan (klacht delik) seperti yang dijelaskan Pasal 367 ayat (2) KUHP, misalnya. Menurut ketentuan Pasal 103 ayat (1), apabila penyelidik menerima laporan atau pengaduan, harus “segera” melakukan penyelidikan yang diperlukan. Baik hal itu atas dasar “pengetahuannya” sendiri maupun berdasar laporan atau pengaduan, pejabat penyelidik harus segera melakukan tindakan yang diperlukan.
Bagaimana kalau pejabat penyelidik tidak mau menerima laporan atau pengaduan yang disampaikan kepadanya? Hal seperti ini sering didengar, dimana pejabat penyelidik didatangi pelapor atau pengadu, tidak diperdulikan. Sehingga besar kemungkinan, berbagai laporan atau pengaduan yang disampaikan anggota masyarakat, hilang lenyap ditelan oleh sikap tidak peduli pejabat penyelidik. Sedang alternatif lain tempat menyampaikan laporan pengaduan terhadap instansi lain tidak ada. Kalau pada masa HIR, jika pihak Polri tidak mengacuhkan laporan atau pengaduan, yang berkepentingan dapat langsung menghubungi dan menyampaikan kepada kejaksaan.
Mengatasi sikap penyelidik yang seperti itu, pelapor atau pengadu dapat langsung menyampaikan laporan dan pengaduan kepada “pejabat penyidik” yakni pejabat Polri yang diserahi fungsi dan wewenang penyidikan, yang kedudukannya berada diatas pejabat penyelidik. Akan tetapi, jika pejabat penyidik sendiri pun tidak bersedia menerima atau enggan menerima dan tidak memperdulikan laporan atau pengaduan, sama sekali tidak sanksi yang dapat dijatuhkan serta tidak ada alternatif lain bagi pelapor atau pengadu untuk menyampaikan kepada instansi atau pejabat lain. Sebab dalam hak ini penyidik pun, sudah sepenuhnya menjadi fungsi dan wewenang yang diberikan kepada Polri secara manunggal. Usaha yang mungkin dapat dilakukan pelapor atau pengadu menyampaikan laporan pengaduan itu kepada “atasan” pejabat penyidik dalam rangka pengawasan built in control. Hanya ini jalan satu-satunya yang dapat diharapkan menembus kemungkinan terjadinya penggelapan atau pengesampingan terhadap pelaporan atau pengaduan yang disampaikan kepada penyelidik atau penyidik.
Lain halnya jika penyidikan telah dimulai, dan telah disampaikan pemberitahuan penyidikan kepada pihak penuntut umum. Dalam hal ini jika penyidik menghentikan penyidikan, penuntut umum dapat meminta atau mengajukan pemeriksaan sah tidaknya penghentian penyidikan kepada Praperadilan sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 80. Jadi, sepanjang mengenai pengehentian penyidikan dapat dilakukan atau dimintakan pengawasan secara yustisial kepada instansi penegak hukum yang lain, tetapi sepanjang mengenai pengesampingan laporan atau pengaduan yang dilakukan penyelidik maupun penyidik, tidak dapat dicek atau diawasi oleh instansi penegak hukum yang lain baik oleh jaksa meupun oleh pengadilan. Paling ada hanya bersifat pengawasan vertikal oleh pejabat atasan langsung sebagai tindak pengawasan built in control.


b. Mencari Keterangan dan Barang Bukti
Seperti yang telah dijelaskan, tujuan pelembagaan fungsi penyelidikan dimaksudkan sebagai langkah pertama atau sebagai bagian yang tak pernah terpisah dari fungsi penyidikan, guna mempersiapkan semaksimal mungkin fakta, keterangan, dan bahan bukti sebagai landasan hukum untuk memulai penyidikan. Seandainya penyidikan dilakukan tanpa persiapan yang memadai, bisa terjadi tindakan penyidikan yang bertentangan dengan hukum atau terjadi kekeliruan terhadap orang yang disidik. Akibat yang seperti ini, yang dirugikan bisa menuntut ganti rugi dan rehabilitasi kepada Praperadilan. Agar dapat berhasil mengumpulkan fakta, keterangan, dan bukti serta sekaligus tidak terjerumus ke muka sidang Praperadilan, sedah waktunya penyelidikan dilakukan dengan jalan mempergunakan metode scientific criminal detection, yakni metode teknik dan taktik penyelidikan secara ilmiah. Tidak lagi dengan sistem kuno main hantam kromo.

c. Menyuruh Berhenti Orang yang Dicurigai
Kewajiban dan wewenang ketiga yang diberikan Pasal 5 kepada penyelidik, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. Wewenang ini wajar, sebab tidak tidak mungkin dapat melaksanakan kewajiban penyelidikan kalau tidak diberi wewenang menyapa dan menanyakan identitas seseorang. Yang kurang jelas dalam pelaksanaan wewenang ini, apakah penyelidik harus mendapat “surat perintah” dari penyidik atau dari atasannya?
Untuk melakukan tindakan menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan sekalian menanyakan identitas orang yang ditanyai, “tidak perlu” surat perintah khusus atau dengan surat apa pun berdasar alasan:
- Ketentuan Pasal 4; menegaskan. setiap pejabat polisi negara RI adalah penyelidik;
- Kemudian makna bunyi Pasal 4 1 yang semakin jelas dapat dipahami jika dihubungkan dengan penjelasan butir 4 Pasal 1 yang menegaskan “Penyelidik adalah pejabat polisi negara RI yang diberi wewenang undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”. Dari bunyi ketentuan ini, dapat dibaca bahwa KUHAP sendiri telah memberi wewenang bagi pejabat Polri untuk menjadi penyelidik. Oleh karena itu KUHAP memberi wewenang yang lahir dari undang-undang ini kepada penyelidik untuk melaksanakan kewajiban dan wewenang penyelidikan yang ditentukan Pasal 5 ayat (1) tanpa surat perintah. Akan tetapi seperti yang telah berulang kali kita tegaskan, dalam melaksanakan fungsi dan wewenang itu penyelidik harus sopan dan tidak merendahkan martabat orang yang dicurigai.
Persoalan kedua yang bisa timbul sehubungan dengan wewenang menyuruh berhenti dan menanyakan identitas orang yang dicurigai. Bagaimana halnya jika orang yang dicurigai tidak mengindahkan atau tidak menaati apa yang disuruh dan tanyai penyelidik. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan penyelidik jika orang yang dicurigai membantah? Hal seperti ini mungkin di alami penyelidik dalam menjalankan kewajibannya.
Jika penyelidik mengalami hal seperti itu, tidak tindakan yang dapat diperbuat untuk memaksa orang yang dicurigai itu. Hal ini memang akan merupakan hambatan bagi penyelidik melakukan fungsi penyelidikan. Sebab bagaimanapun seandainya orang yang dicurigai tidak menaati perintah penyelidik, tidak dapat memaksa dengan upaya paksa. Satu-satunya jalan yang dapat dibenarkan hukum, pejabat penyelidik segera mendatangi pejabat penyidik, untuk meminta “surat perintah” penangkapan atau surat perintah “membawa atau menghadapkan” orang yang dicurigai ke muka penyidik. Atau barangkali yang paling efisien, sewaktu penyelidik hendak pergi mencegat orang yang dicurigai, penyelidik mempersiapkan kian surat perintah penangkapan atau surat perintah membawa dan menghadapkan kepada penyidik. Persiapan surat-surat perintah itu dimaksud sebagai upaya mengatasi kemungkinan keingkaran orang yang dicurigai mematuhi perintah penyelidik. Dengan disiapkan kian surat perintah, penyelidik tidak perlu lagi membuang waktu meminta surat perintah. Segera setelah adanya keingkaran orang yang dicurigai, penyelidik bisa langsung membawanya untuk dihadapkan ke muka penyidik.
Akan tetapi, persiapan surat perintah yang demikian tidak selamanya dapat disediakan. Persiapan seperti itu baru dapat disediakan, jika sejak semula penyelidik sudah merencanakan akan menyelidiki orang tertentu yang sudah dicurigai kian orangnya, sehingga dapat dibuat surat perintah yang menjelaskan identitas orangnya. Kalau hal itu terjadi tiba-tiba di suatu tempat, tidak mungkin mempersiapkan surat perintah dimaksud kecuali jika kejadian itu bersesuain dengan ketentuan Pasal 102 ayat (2); “dalam hal tertangkap tangan”. Tanpa menunggu perintah penyidik ”wajib” segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan yang disebut Pasal 5 ayat (1) huruf b. Jadi, dalam kejadian tertangkap tangan, penyelidik dapat melakukan tindakan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, pengeledahan, penyitaan, pemeriksaan, dan penyitaan surat, mengambil sidik jari, memotret seseorang, dan membawa atau menghadapkan seseorang pada penyidik tanpa lebih dulu mendapat perintah dari pejabat penyidik.

d. Tindakan Lain Menurut Hukum
Kewajiban dan wewenang selanjutnya ialah mengadakan “tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Sungguh kabur rumusan ini, tidak jelas apa yang dimaksud dengan dengan “tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”, Sulit sekali menentukan bentuk warna dan bentuk tindakan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4, berbunyi: “Yang dimaksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:
a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum:
b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan:
c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d) atas pertimbangan yang layak berdadsarkan keadaan memaksa;
e) menghormati hak asasi manusia.
Bagaimanapun mencoba mengkongretkan penjelasan di atas, pengertiannya tetap kabur. Seolah-olah penjelasan ini malah memberi keleluasaan para penyidik untuk bertindak semaunya, dengan anggapan apa yang dilakukan merupakan tindakan keharusan dan masih selaras dengan kewajiban seperti yang disebut pada huruf b dan c. Mari kita ambil contoh, seseorang yang dicurigai tidak mau berhenti dan tidak mau menyerahkan identitas yang diminta atau ditanyakan oleh penyelidik. Menghadap hal seperti ini, penyelidik tidak dapat memaksa dengan upaya paksa, dan sebagai jalan keluar, penyelidik harus pergi meminta surat perintah kepada penyidik untuk menangkap atau membawa untuk dihadapkan orang yang membangkang kepada penyidik. Sekarang, apakah penyelidik dapat memaksa orang tadi untuk berhenti? Dengan cara apa dia menghentikannya? Dengan kekerasan atau alasan sebagai tindakan yang selaras dengan kewajiban hukum yang “mengharuskan” melakukan tindakan upaya paksa? Sampai sejauh mana upaya paksa yang diharuskan itu? Atau kalau identitas yang ditanyakan kepada yang dicurigai tidak diberikan dan tidak dijawab, apakah penyelidik dapat merampas dari kantonganya? Sepanjang hal ini memang dapat, dengan alasan perampasan surat keru penduduk sebagai tindakan penggeledahan pakaian sebagaimana yang di atur dalam Pasal 37 ayat (1). Namun hal itu baru dapat dilakukan jika terjadi penangkapan terhadap tersangka. Kalau tidak ada penangkapan, penggeledahan pakaian tidak dibenarkan. Tetapi kalau menyuruh berhenti dengan paksa, tidak dapat dikategorikan kepada syarat-syarat yang dijumpai dalam penjelasan dimaksud. Jadi, secara teoritis sangat sulit mengkonstruksi suatu acuan tindakan yang kongkret atas bunyi dan penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP. Mungkin praktek hukum yang memberi jalan pemecahan. Atau ketentuan ini dalam praktek lebih berat arahnya menjurus kepada tindakan keleluasaan bagi pejabat penyelidik. Jika demikian arahnya, dari sekarang kita berpendapat isi ketentuan itu kurang dapat dipertanggung jawabkan di dalam pelaksanaan tindakan penyelidikan. Lebih baik ketentuan itu tidak dicantumkan dalam KUHAP agar tidak timbul manipulasi tindakan penyelidikan yang berkedok kepada kekaburan rumusan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 dan penjelasannya. Namun, sebagai jalan tengah yang dapat ditolerir ialah dengan mempedomani “asas proporsional”, yakni kalau tindakan itu masih proporsional dengan tujuan penegakkan hukum, tindakan itu masih di anggap dalam ruang lingkup penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4.
2. Kewenangan Berdasar Perintah Penyidik
Kewajiban dan wewenang penyelidik yang dibicarakan di atas adalah yang lahir dan inherent dari sumber undang-undang sendiri. Sedang kewajiban dan wewenang yang akan dibicarakan pada uraian ini adalah yang bersumber dari “perintah” penyidik yang dilimpahkan kepada penyelidik. Tindakan dan kewenangan undang-undang melalui penyelidik dalam hal ini, lebih tepat merupakan tindakan “melaksanakan perintah” penyidik berupa:
• penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penyitaan;
• pemeriksaan dan penyitaan surat;
• mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
• membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
Tentang tindakan yang didasarkan pada pelaksanaan surat perintah penyidik, cukup dideskripsikan, tanpa pembahasan, sebab semua hal itu (penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat) akan dibicarakan nanti sendiri-sendiri.
Sebagaimana yang sudah disinggung di atas, sesuai dengan ketentuan Pasal 102 ayat (2) dalam hal tertangkap tangan, penyelidik dapat bertindak melakukan segera apa yang disebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b tanpa mendapat perintah dari pejabat penyidik. Hal ini logis dan realisitis demi untuk segera dapat menangani dengan baik dan sempurna tugas penyelidikan. Pemberian wewenang yang demikian pada keadaan tertangkap tangan, efektif, dan efisien.
3. Kewajiban Penyelidik Membuat dan Menyampaikan Laporan
Penyidik wajib menyampaikan hasil pelaksanaan tindakan sepanjang yang menyangkut tindakan yang disebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b. Pengertian laporan hasil pelaksanaan tindakan penyelidikan, harus merupakan “laporan tertulis”. Jadi di samping adanya laporan lisan, harus diikuti laporan tertulis demi untuk adanya pertanggungjawaban dan pembinaan pengawasa terhadap penyelidik, sehingga apa sajapun yang dilakukan penyelidik tertera dalam laporan tersebut.
Kewenangan Penyelidik tersebut sebenarnya merupakan sebagaian dari kewenangan penyidik,karena peneyelidikan merupakan sub fungsi / bagian yang tak terpisahkan dari penyidikan.dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap penyidik selain memiliki kewenangan melakukan penyidikan dengan sendirinya berwenang pula melakukan penyelidikan sedangkan seorang penyelidik kewenangannya hanya terbatas pada penyelidikan.
Dalam praktek hukum yang bertugas melaksanakan penyelidikan adalah pejabat Polri yang oleh atasan atau pimpinannya selaku penyidik ditugaskan melakukan penyelidikan. Dilingkungan Polri kegiatan penyelidikan ini dikenal atau dinamakan sebagai penyelidikan Reserse dan pada dasarnya dikenal sebagai penyelidik atau Reserse (Dektektif).
Untuk mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan penyelidikan Reserse maka dibawah ini dicantumkan kutipan uraian mengenai penyelidikan Reserse yang terdapat dalam JUKLAK KAPOLRI tentang Proses penyidikan tindak pidana angka IV butir 2 huruf a sebagai berikut : PENYELIDIKAN RESERSE .
1. Dasar Hukum Penyelidikan

a. Pasal 5 KUHAP f. Pasal 103 KUHAP
b. Pasal 9 KUHAP g. Pasal 104 KUHAP
c. Pasal 75 KUHAP h. Pasal 105 KUHAP
d. Pasal 102 KUHAP i. Pasal 111 KUHAP
2. Yang berwenang melakukan Penyelidikan Reserse
adalah Polisi negara Republik Indonesia yang khusus ditugaskan untuk itu
3. Pertimbangan dilakukan Penyelidikan
a. Berbagai bentuk laporan yang diterima reserse.
b. Adanya Laporan Polisi.
c. Berita Acara pemeriksaan di TKP.
d. BAP Tersangka dan Saksi.
4. Tujuan Penyelidikan ;
a. Menurut KUHAP pada Hakekatnya Penyelidikan bertujuan untuk :
1). Mendahului guna mempersiapkan tindakan tindakan penyidikan yang akan dilakukan.
2). Mencegah terjadinya pelanggaran HAM.
3) Mengatasi pengunaan upaya paksa secara dini.
4). Menghindarkan penyidik dari kemungkinan timbulnya resiko tuntutan hukum karena tindakan penyidikan yang dilakukan.
5). Membatasi dan mengawasi pelaksanaan penyelidikan agar dilakukan secara terbuka ( Pasal 104 KUHAP).
b. Menurut Tekhnis :
1). Mencari keterangan keterangan guna menentukan suatu peristiwa yang dilaporkan merupakan tindak pidana atau bukan.
2). Melengkapi keterangan yang telah diperoleh agar menjadi jelas sebelum dilakukan penindakan.
3). Persiapan pelaksanaan penindakan.

5. Penyelidikan dapat dilakukan untuk ;
a. Mencari keterangan keterangan guna menentukan suatu peristiwa yang dilaporkan atau diadukan merupakan tindak pidana atau bukan.
b. Melengkapi keterangan yang telah diperoleh agar jelas sebelum dapatnya dilakukan penindakan.
c. Persiapan pelaksanaan penindakan.

6. Sasaran Penyelidikan adalah ;
a. Orang.
b. Benda atau barang.
c. Tempat (termasuk rumah dan tempat tempat tertutup lainnya).

7. Penyelidikan Reserse dilakukan dengan cara ;
a. Terbuka
Dapat dilakukan sepanjang hal itu dapat menghasilkan keterangan keterangan yang diperlukan, dengan perkataan lain penyeledikan reserse secara terbuka lebih banyak mengunakan wewenang menurut KUHAP.
b. Tertutup
1). Apabila mendapat kesulitan dengan mengunakan cara terbuka.
2) Daya upaya penyelidikan Reserse secara tertutup lebih menitik beratkan kepada segi tekhnis dan kerahasiaan sejauh menyangkut penyelidikan yang belum dijangkau dalam perumusan KUHAP.
3). Petugas yang melakukan penyelidikan harus mampu menguasai tekhnik tekhnik yang diperlukan berupa antara lain;
a). Interview atau Wawancara adalah usaha atau kegiatan untuk memperoleh keterangan dari orang yang memiliki atau diduga memiliki keterangan.
Dalam rangka penyelidikan Reserse yang mengadakan Interview tidak menunjukan identitas yang sebenarnya atau tidak secara resmi.
b). Observasi adalah pengamatan dengan panca indera secara teliti terhadap orang, benda, tempat dan kegiatan.
c). Survellance adalah pengamatan secara sistematis terhadap orang, tempat dan benda biasanya Survellance dilakukan terhadap orang adapun pengamatan terhadap tempat atau benda itu dilakukan karena ada hubungan atau untuk mencari hubungan dengan orang yang diamati atau orang tertentu.
d). Undercover adalah penyusupan langsung kedalam sasaran, sehingga didapat keterangan sebanyak banyaknya tentang sesuatu yang berhubungan dengan tindak pidana yang diselidiki.
c. Hasil penyelidikan dituangkan kedalam bentuk laporan dan benar benar diolah sehingga merupakan keterangan keterangan yang berguna untuk:
1). Menentukan benar atau tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana.
2). Memperoleh kejelasan dalam rangka melengkapi keterangan keterangan guna kepentingan penindakan dan petunjuk petunjuk dalam melakukan pemeriksaan.
8. Hal hal yang perlu diperhatikan dalam Penyelidikan Reserse yaitu ;
A. Meneliti Laporan / Pengaduan tentang peristiwa yg diduga Tindak Pidana :
a. Apakah yang terjadi ?
b. Dimana terjadinya ?
c. Bilamana terjadinya ?
d. Siapa pelakunya ?
e. Dengan apa dilakukan ?
f. Bagaimana Terjadinya ?
g. Mengapa dilakukan ?
B. Meneliti Tindak Pidana yg dipersangkakan apakah dapat memenuhi unsur unsur ketentuan Pidana supaya dapat dilakukan Penyidikan.
C. Dalam hal laporan / pengaduan tentang peristiwa yg diduga tindak pidana disampaikan langsung kepada Reserse/anggota Reserse maka laporan tersebut maka laporan tersebut dibuat oleh Reserse dengan pencatatan tertentu yang nilainya sama dengan laporan polisi yg dibuat oleh Samapta.
D. Dalam melaksanakan penyelidikan terbuka petugas wajib menunjukan tanda pengenal.

E. Dalam melaksanakan penyelidikan tertutup agar dihindari tindakan tindakan yang dapat menimbulkan tuntutan ganti kerugian.

########## Selamat Bekerja ##########
Banjarbaru, Januari 2010
Penyusun

Sugeng Aribowo.SH
Daftar Pustaka

1. Prof.Dr. Andi Hamzah,SH - Hukum Acara Pidana Indonesia. Penerbit Sinar Grafika 1993
2. M.Yahya Harahap,SH – Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP ( Penyidikan dan Penuntutan) Penerbit Sinar Grafika september2000.
3. HM.A. KUFFAL,SH – KUHAP Dalam Praktek HUKUM Penerbit Universitas Muhamadiyah Malang2005.
4. Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Penerbit Asa Mandiri 2005.
5. Petunjuk Pelaksana KAPOLRI No. Pol.: JUKLAK/04/II/1982 Tanggal 18 Februari 1982 – Proses Penyidikan Tindak Pidana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar