Sabtu, 18 Desember 2010

Materi Pelatihan Provos Tahun 2010 SPN Banjarbaru

PERAN PROVOS DALAM MENDUKUNG REFORMASI BIROKRASI
POLRI GUNA MEMBANGUN KEMITRAAN DAN MEMANTTAPKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT

Masih ada keraguan masyarakat dalam menilai dan mencermati arah reformasi kepolisian sejalan dengan bergulirnya isu”polisi sipil”, (secara harfiah adalah polisi yang beradab) dan itu hanya mungkin dibangun dalam masyarakat yang demokratis. Karena itulah polisi menjunjung prinsip prinsip demokrasi, seperti kebebasan, keterbukaan, pertanggungjawaban dan lain-lain. Di bawah prinsip demokrasi polisi sipil wajib menampilkan hubungan yang bersifat akrab dengan masyarakat melalui pendekatan kemanusiaan bukan dengan kekuasaan. Polisi di negara demokratis memegang teguh pelaksanaan misinya menjaga keamanan dan ketertiban umum juga menegakan hukum sebagai wujud dari pelayanan. Karena itu sesuai kelahirannya menunjukkan bahwa polisi diciptakan untuk lebih difokuskan dalam hal mengatasi masalah sosial daripada untuk menegakkan hukum negara. Hal ini sedikit berbeda dengan lembaga penegak hukum lainnya yang domain tugasnya lebih bertumpu pada penegakan hukum negara. Karena itu, polisi sipil dan masyarakat yang demokratis merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dari uraian tersebut.
Keberhasilan reformasi ditubuh kepolisian dapat berhasil dengan baik apabila para pimpinan Polri dapat menjalankan reformasi dengan ikhlas dan memiliki komitmen yang kuat. Sejalan dengan perkembangan jaman yang semakin modern dan kompleks maka Kepolisian harus lebih berbenah dan menata kembali institusinya dengan jalan mengkedepankan Fungsi dan peranan Provos dengan cara mempertegas tugas anggota provos adapun tugas provos ada 3 (tiga) yaitu :
1. BIDANG PENGAMAN yang meliputi :
a. Pengamanan Terbuka dengan tugasnya : Pengamanan Mako, Pengamanan emeriksaan fhisik dan geledah dan pengamanan kegiatan.
b. Patroli dengan tugasnya : Patroli di wilayah yang telah ditentukan dengan sasaran rumah Pejabat Polri, mako dan VIP.
c. Pengawalan dengan tugasnya : Pengawal Anggota Polri dan Pengawalan Khusus pejabat Polri sesuai tingkatan.

2. BIDANG PENEGAKAN HUKUM meliputi :
a. Pemeriksaan dengan tugasnya melaksanakan administrasi pemeriksaan, tingkatkan penyelesaian perkara pelaksanaan gelar perkara dan penetapan pasal yang tepat sesuai dengan pelanggaran disiplin.
b. Sidang displin dengan tugasnya melaksanakan Sidang displin, konsistensi Ankum, Tepat waktu, melaksanakan Administrasi yang profesional dan proppsional.
c. Pengawasan dengan tugasnya Pengawasan hukuman Disiplin, tidak mempersulit personil Polri yang telah dijatuhi hukuman disiplin dan mematuhi masa pengawasan hukuman displin.

2. BIDANG PEMBINAAN DISIPLIN meliputi :
a. Pemeliharaan ketertiban displin dengan tugas Peningkatan bimbingan atau penyuluhan, laksanakan giat Preventif, peningkatan pengawasan anggota Polri, Peningkatan kemampuan anggota Provos.
b. Penegakan Displin dengan tugasnya melaksanakan Operasi Pennegakan Displin, operasi Bersih dan Opersai khusus.


PP NOMER 2 TTAHUN 2003
TENTANG PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA POLRI

Diharapkan anggota Provos dapat memahmi PP No.2 tahun 2003 tentang Peraturan Displin anggota Polri dikkeluarkan pada tanggal 1 januari 2003 yang terdiri dari beberapa Bab :
1. Dasar
2. Bab I memuat Ketentuan Umum.
3. Bab II Ketentuan Kewajjiban, larangan dan sanksi.
4. Bab III Penyelesai pelanggaran displin.
5. Bab IV Pelaksanaan penempatan pada tempat khusus.
6. Bab V Ketentuan Perralihan
7. Bab VI Ketentuan Penutup.


KEPUTUSAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NO.POL : KEP/42, 43 DAN 44/IX/2004

Provos dalam melaksanakan tugas penyidikan pelanggaran displin yang dilakukan oleh anggota Polri harus mematuhi hukum materil dan hukum Formil, yang dimaksud hukum materil disini adalah PP No.2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin anggota Polri sedangkan Hukum Formil nya adalah Keputasan kapolri No.Pol: Kep:42/IX/2004 tentang Keangkuman dilingkungan Polri, Keputasan kapolri No.Pol: Kep:43/IX/2004 tentang Tata Cara Sidang displin bagi anggota Polri, Keputasan kapolri No.Pol: Kep:44/IX/2004 tentang Penyelesaian Perkara Pelanggaran Displin anggota Polri.
1. Keputasan kapolri No.Pol: Kep:42/IX/2004 tentang Keangkuman dilingkungan Polri yang meliputi :
a. Dasar.
b. Bab I Ketentuan Umum diatur dalam Pasal 1 yang memuat tentang pengertian pengertian.
c. Bab II Penggolongan Ankum diatur dalam Pasal 2 terdiri dari
- Pejabat yang berwenang jatuhkan hukuman disiplin yaitu Ankum dan Atasan Ankum.
- Ankum secara berjenjang yaitu Ankum Penuh, Ankum Terbatas dan ankum sangat terbatas.
- Ankum Sesuai kedudukan yaitu : Ankum tingkat Pusat, Ankum Tingkat Kewilayahan (Polda, Polre/Ta)
c. Bab III Pejabat Ankum diatur dalam Pasal 3 terdiri dari Ankum berwenang penuh, Ankum berwenang terbatas, Ankum berwenang sangat terbatas.
d. Bab IV Atasan Ankum pasal 8
e. Bab V Kewenangan Ankum pasal 11.
f. Bab VI Tugas dan Tanggung Jawab Ankum.
g. Bab VII Ketentuan lain lain.
h. Bab VIII Penutup.

2. Keputasan kapolri No.Pol: Kep:43/IX/2004 tentang Penyelesaian Perkara Pelanggaran Displin anggota Polri yang meliputi :
a. Dasar : PP No.1 tahun 2003 tentang –emberhentian Anggota polri dan PP No.2 tahun 2003 tentang Peraturan disiplin anggota polri.
b. Bab I Ketentuan Umum diatur dalam Pasal 1 yang memuat tentang pengertian pengertian, Tujuan dan Penyelesaian pelanggaran Disiplin.
c. Bab II Dasar dan Bentuk Penyelesaian Perkara diatur dalam Pasal 4 sampai dengan pasal 16
d. Bab III Pelaksanaan terdiri dari : Pasal 17 mengatur Tahapan Peneyelesaian Pelanggaran displin, Pasal 18 mengatur Penerimaan Laporan, Pasal 19 mengatur Pemanggilan, pasal 20 mengatur Penyelidikan, pasal 21 mengatur pemeriksaan, Pasal 22 mengatur tindak lanjut, Pasal 23 mengatur tentang kewenangan pemeriksa, Pasal 24 mengatur Pengamanan Pelanggaran displin, pasal 25 mengatur Perkuat Bukti, pasal 26 mengatur hasil pemeriksaan, Pasal 27 mengatur pelimpahan berkas, pasal 28 mengatur pendapat hukum, pasal 29 mengatur Sidang disiplin, pasal 30 mengatur Susunan Keanggotaan, pasal 31 mengatur Penjatuhan hukuman disiplin, pasal 32 mengatur Pelaksaan Hukuman, pasal 33 mengatur Akhir masa hukuman, Pasal 35 mengatur Pengawasan dan pasal 36 mengatur pencatatan data perorangan.
e. Bab IV Penutup.

3. Keputasan kapolri No.Pol: Kep:44/IX/2004 tentang Tatacara Sidang Displin Anggota Polri yang meliputi :
a. Dasar.
b. Bab I Ketentuan Umum diatur dalam Pasal 1 yang memuat tentang pengertian pengertian, Tujuan, Penjatuhan Hukuman Displin dan Wewenang penyelesaian perakara melalui Sidang Disiplin. B(pasal 1 s/d pasal 4 )
c. Bab II Sifat Sidang disiplin, kedudukan sidang disiplin, Susunan perangkat sidang, Tugas dan wewenang diatur dalam pasal 5 s/d pasal 13.
d. Bab III Pelaksanaan terdiri dari : Pasal 14 mengatur Proses pelaksanaan sidang Pelanggaran displin, Pasal 15 mengatur Persiapn sidang disiplin, Pasal 16 dan 17 mengatur Pelaksanaan Sidang, pasal 18 Tata cara sidang,
e. Bab IV Pengajuan Keberatan (pasal 23) Terhukum setelah terima SKHD dapat ajukan keberatan tenggang waktu 14 hari melalui Ankum lama proses selama 30 hari dengan putusan batalkan SKHD, Kuatkan SKHD atau rubah SKHD.
f. Bab V Administrasi (pasal 24) mengunakan ketentuan yang berlaku dilingkungan Polri seperti berkas Perkara, Surat Perintah Penunjukan perangkat sidang, surat perintah pelaksanaan sidang, acara sidang, Surat sangkaan, surat Pununtutan, Surat keputusan penjatuhan hukuman, surat keputusan hukuman disiplin,surat perintah pelaksanaan hukuman disiplin dan Berita acara pelaksanaan Persidangan.
g. Bab VI Ketentuan Peralihan pasal 25.

Berdasarkan STR Kapolri nomer ;STR /706 / VIII/ 2010 tanggal 31 Agustus 2010 dan STR Kapolda Kalsel nomer : STR : 1044/IX/2010 tanggal 08 September 2010 diperintahkan bagi penyidik Provos Polri untuk melaksanakan Penegakan hukum dengan berdasarkan kepastian hukum untuk melaksanakan penyelesaian pelanggaran disiplin dengan waktu 60 (enam puluh) hari untuk petugas Provos dan 30 (tiga puluh) hari untuk Ankum dan dalam perkara pidana yang ditemukan bukti permulaan yang cukup maka harus menuntaskan pemeriksaan pelanggaran disiplin hingga pemberkasan (DP3D) tetapi DP3D tidak boleh disidangkan oleh Ankum selanjutnya berkas terkait tindak pidana tetap dilimpahkan ke fungsi reskrim selanjutnya memonitor perkara pidana yang dilimpahkan ke fungsi reskrim hingga mendapatkan putusan hukum yang bersifat tetap.


STANDAR OPERASI PROSEDUR (SOP)
PATROLI SUBBID PROVOS BID PROPAM POLDA KALSEL

Provos Melaksanakan melaksanakan tugas Pengamanan dengan cara patroli untuk itu dibuat SOP Patroli yang meliputi Prosedur pelaksanaan patroli pada Mapolda kalsel, Kediaman kapolda, Wakapolda dan Pejabat utama Polda kalsel serta VIP sedangkan untuk tingka Polres menyesuaikan dengan kondisi dan situasi masing masing wilayah kesatuan.

Pelaksanaan patroli :
a. Bentuk Kegiatan Patroli Provos adalah Patroli jalan kaki, patroli bersepeda, dan berkendaraan R2/R4 .
b. Dan dalam pelaksanaan tugasnya harus berseragam lengkap.
c. Kualifikasi Petugas Patroli : harus memiliki komunikasi sosial, Tindakan pertama ditempat kejadian perkara,pengumpulan bahan keterangan,Tindakan refresif terbatas (Awal), Teknik pemeriksaan fhisik, Teknik pengamatan dan Teknik patroli.
d. Prinsif petugas Patroli : memiliki kecermatan,Kewaspadaan,koordinatif dan pencegahan.
e. Sasaran wilayah patroli :
1. FREE ZONE AREA yaitu Area lingkungan sekitar mako dalam radius 3-5 meter dari pagar mako.(jalan raya,trotoar dan pedangan kaki lima)
2. CONTROLLED ZONE AREA yaitu Area public didalam pagar mako namun untuk dapat masuk kedalamnya harus melalui pemeriksaan petugas (halaman mako dan tempat parker).
3. LIMITED ZONE AREA yaitu Area didalam gedung/mako polri dimana yang bisa masuk adalah orang orang terbatas berdasarkan kepentingan.
4. RESTRICTED ZONE AREA yaitu Area / ruangan yang terlarang bagi semua orang kecuali atas persetujuan dari yang berwenang.
f. Sasaran ancaman patroli : FKK, PH dan AF
g. sebelum dan setelah pelaksanaan kegiatan Patroli petugas Provos wajib membuat surat perintah dan membuat hasil pelaksanaan tugas Patroli.


STANDAR OPERASI PROSEDUR (SOP)
PELAYANAN PENGADUAN BID PROPAM POLDA KALSEL

Bid Propam Polda Kalsel mengemban tugas sebagai pelayan terhadap masyarakat polisi dan Masyarakat Umum, yang dimaksud masyarakat Polisi adalah Personil Polri dan PNS Polri beserta keluarga , untuk Bid Propam Polda kalsel telah membuat Prosedur Pelayanan Pelaporan / Pengaduan Masyarakat sebagai berikut :
a. Menerima secara langsung pelapor / pengadu dan diminta mengisi buku tamu (Bila terdapat masyarakat melapor //pengaduan melalui SMS Polri atau pertelpon maka disarankan untuk datang secara langsung ke Sentra Pelayanan propam) .
b. Didengar Pelaporan / Pengaduannya lalu lakukan penilaian apakah merupakan pelanggaran disiplin atau Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri ataukah merupakan Tindak Pidana.
c. Bila belum ada kejelasan identitas Terlapor maka tunjukan Foto yang ada di data Base RHPP atau koordinasi dengan Subbid Paminal
d. Bila merupakan pelanggaran disiplin atau Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri maka laporannya diterima dengan LP model B dan lakukan cek TKP dan Apabila merupakan Tindak pidana maka segera diarahkan ke Dit Reskrim atau Sat Reskrim, buatkan STPL juga berikan kartu nama Sentra pelayanan propam Polda Kalsel.
e. lakukan Pemeriksaan pendahuluan terhadap Saksi korban yang dituangkan dalam BAP dengan mempedomani 7 Kah.
f. Terhadap Korban yang mengalami luka atau meninggal mintakan VER
g. Buatkan Nota dinas(untuk Ankum Kasatker polda termasuk SPN dan Brimob dan ditembuskan kepada Kasubbid Provos atau kasubbid Profesi atau surat untuk ankum Kasatwil Jajaran dengan dilampiri LP,BAP Saksi dan surat surat pendukung lainnya (bila ada). Nota dinas atau surat ditembuskan kepada Kapolda kalsel dan Irwasda.
h. Membuat SP2HP2 (surat pemberitahuan perkembangan hasil pemeriksaan Propam) kepada pelapor / Pengadu yang menyatakan bahwa LP dan BAP telah diserahkan kepada Ankum pelanggar.

PEMBERKASAN PERKARA PELANGGARAN DISIPLIN

Negara indonesia adalan Negara Hukum, hal ini berdasarkan UUD 1945 pada pasal 1 ayat 3, yang dimaksud dengan Negara hukum adalah berdasarkan Kepastian dan Keadilan hukum hal ini termuat pada pasal 28 D UUD 1945 yang berbunyi Kepastian hukum yang Adil, oleh karena itu pada kegiatan pelatihan Brigadir Provos jajaran polda Kalsel telah dibuat satu kesimpulan dan telah disatukan pendapat bahwa dalam pelaksanaan Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Provos dalam pelanggaran displin yang dilakukan oleh anggota Polri harus mematuhi hukum materil yaitu PP No.2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin anggota Polri sedangkan Hukum Formil nya adalah Keputusan kapolri No.Pol: Kep:42/IX/2004 tentang Keangkuman dilingkungan Polri, Keputasan kapolri No.Pol: Kep:43/IX/2004 tentang Tata Cara Sidang displin bagi anggota Polri, Keputasan kapolri No.Pol: Kep:44/IX/2004 tentang Penyelesaian Perkara Pelanggaran Displin anggota Polri.

Peraturan Kapolri No.20 Thn 2010 Ttg Korwas PPNS

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2010
TENTANG
KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN
BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan penegakan hukum sesuai
sistem peradilan pidana terpadu, Kepolisian Negara Republik
Indonesia selaku penegak hukum bertugas melakukan
penyidikan tindak pidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangannya;
b. bahwa secara fungsional tugas penyidikan tindak pidana
dilaksanakan oleh pengemban fungsi Reserse Kriminal
Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dalam
pelaksanaannya dapat dibantu oleh Penyidik Pegawai
Negeri Sipil;
c. bahwa Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil diberikan
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melaksanakan
penyidikan tindak pidana yang termasuk dalam lingkup
kewenangannya, berada di bawah koordinasi, pengawasan
dan pembinaan Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
tentang Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Penyidikan
Bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN
PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI
SIPIL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah
alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri;
2. Penyidik adalah pejabat Polri yang diangkat dan diberi wewenang khusus
oleh undang-undang untuk melakukan peyidikan;
3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan ditunjuk selaku Penyidik dan mempunyai wewenang
untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing;
4. Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya;
5. Koordinasi adalah suatu bentuk hubungan kerja antara Penyidik Polri dengan
PPNS dalam melakukan penyidikan tindak pidana tertentu yang menjadi
dasar hukumnya, sesuai sendi-sendi hubungan fungsional;
6. Pengawasan adalah proses penilikan dan pengarahan terhadap pelaksanaan
penyidikan oleh PPNS untuk menjamin agar seluruh kegiatan penyidikan
yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
7. Pembinaan teknis yang selanjutnya disebut pembinaan adalah proses
kegiatan yang dilakukan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk
meningkatkan kemampuan PPNS di bidang teknis dan taktis penyidikan;
8. Bantuan Penyidikan adalah bantuan yang diberikan oleh Penyidik Polri
kepada PPNS berupa bantuan teknis, taktis dan upaya paksa serta konsultasi
penyidikan;
9. Bantuan Teknis adalah bantuan pemeriksaan ahli dalam rangka pembuktian
secara ilmiah (Scientific Crime Investigation);
10. Bantuan Taktis adalah bantuan personel Polri dan peralatan Polri dalam
rangka mendukung pelaksanaan penyidikan tindak pidana oleh PPNS;
11. Bantuan upaya paksa adalah bantuan yang diberikan oleh penyidik Polri
kepada PPNS berupa kegiatan penindakan secara hukum dalam rangka
penyidikan baik kepada PPNS yang memiliki kewenangan maupun yang tidak
memiliki kewenangan penindakan;
12. Laporan kejadian adalah laporan tertulis yang dibuat oleh PPNS tentang
adanya suatu peristiwa pidana yang sedang dan telah terjadi, baik yang
ditemukan sendiri maupun melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh
seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang;
13. Gelar Perkara adalah kegiatan penyidik dan PPNS untuk memaparkan
perkara dan tindakan yang akan, sedang dan telah dilakukan penyidikan,
guna memperoleh kesimpulan;
14. Keadaan tertentu adalah keadaan luar biasa yang memerlukan penanganan
secara khusus.
Pasal 2
Pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pembinaan penyidikan bagi PPNS oleh
Penyidik, dilakukan berdasarkan prinsip:
a. kemandirian, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan dilaksanakan
dengan tidak mengurangi eksistensi/keberadaan instansi PPNS dan
dijalankan secara profesional;
b. legalitas, yakni koordinasi, pengawasan dan pembinaan diselenggarakan
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku;
c. kebersamaan, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan tidak
mengurangi integritas pimpinan dan kewenangan masing-masing instansi
PPNS yang dilandasi sikap saling menghormati tugas dan wewenang serta
hierarki masing-masing;
d. akuntabilitas, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan
oleh Penyidik terhadap PPNS dalam proses pelaksanaan penyidikan yang
dilakukan oleh PPNS dapat dipertanggungjawabkan;
e. transparansi, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan memperhatikan
asas keterbukaan dan bersifat informatif bagi pihak-pihak terkait;
f. efektif dan efisien, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan yang
dilakukan oleh Penyidik terhadap PPNS dalam proses penyidikan tepat waktu
dengan biaya ringan serta berpedoman pada keseimbangan yang wajar
antara sumber daya yang dipergunakan; dan
g. kewajiban, yaitu pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pembinaan
terhadap penyidikan yang dilakukan oleh PPNS, Penyidik secara aktif diminta
ataupun tidak diminta wajib memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan
yang diperlukan.
Pasal 3
Tujuan peraturan ini sebagai pedoman bagi penyidik dalam melaksanakan
koordinasi, pengawasan dan pembinaan penyidikan terhadap PPNS dalam
menjalankan fungsi, peran, tugas dan tanggung jawab penyidikan.
BAB II
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Penyidik
Pasal 4
(1) Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
penyidik bertugas melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan
penyidikan yang dilakukan oleh PPNS.
(3) Koordinasi, pengawasan dan pembinaan penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan oleh:
a. pengemban fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri pada tingkat Mabes
Polri;
b. pengemban fungsi Korwas PPNS Dit Reskrim pada tingkat Polda; dan
c. pengemban fungsi Korwas PPNS Satreskrim pada tingkat
Polrestabes/Polresmetro/Polres/Polresta.
Bagian Kedua
PPNS
Pasal 5
PPNS mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan
tugasnya berada di bawah koordinasi, pengawasan dan pembinaan Penyidik.
BAB III
KOORDINASI
Pasal 6
(1) Penyidik melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan tugas penyidikan yang
dilakukan oleh PPNS.
(2) Koordinasi dilakukan sejak PPNS memberitahukan dimulainya penyidikan
kepada Penuntut Umum melalui penyidik.
(3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam
bentuk kegiatan:
a. menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) oleh
PPNS;
b. memberi bantuan teknis, taktis, upaya paksa dan konsultasi
penyidikan kepada PPNS untuk penyempurnaan dan mempercepat
penyelesaian berkas perkara;
c. menerima berkas perkara dari PPNS dan meneruskan kepada
Penuntut Umum;
d. penghentian penyidikan oleh PPNS;
e. tukar menukar informasi tentang dugaan adanya tindak pidana yang
penyidikannya dilakukan oleh PPNS;
f. rapat secara berkala; dan
g. penyidikan bersama.
Pasal 7
(1) Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a
dilaksanakan dengan cara:
a. lisan sebelum dibuatnya SPDP;
b. menerima SPDP dan lampirannya dari PPNS;
c. meneliti SPDP dan lampirannya bersama PPNS; dan
d. menyusun rencana penyidikan bersama PPNS.
(2) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa:
a. laporan kejadian;
b. surat perintah penyidikan; dan
c. berita acara yang telah dibuat.
Pasal 8
(1) Bantuan teknis dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh PPNS, meliputi
pemeriksaan:
a. laboratorium forensik (labfor);
b. identifikasi; dan
c. psikologi.
(2) Bantuan taktis dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh PPNS, meliputi
bantuan:
a. penyidik;
b. peralatan yang diperlukan; dan
c. pengerahan kekuatan.
(3) Bantuan upaya paksa dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh PPNS,
meliputi:
a. pemanggilan saksi/tersangka di luar wilayah hukum kewenangan
PPNS dan di luar negeri;
b. perintah membawa saksi/tersangka;
c. penangkapan;
d. penahanan;
e. penggeledahan; dan
f. penyitaan.
(4) Bantuan konsultasi dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh PPNS,
meliputi:
a. teknis dan taktis penyelidikan, untuk mencari dan mengumpulkan
bahan keterangan;
b. teknis dan taktis penindakan sesuai dengan kewenangan PPNS;
c. teknis pemeriksaan;
d. petunjuk administrasi penyidikan;
e. petunjuk aspek yuridis;
f. teknis penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut
Umum;
g. teknis penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
h. teknis pembuatan statistik kriminal.
Pasal 9
(1) Penyidik wajib memberikan bantuan penyidikan kepada PPNS.
(2) Dalam hal memerlukan bantuan penyidikan, PPNS mengajukan permintaan
secara tertulis kepada:
a. Kabareskrim Polri melalui pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS;
b. Dir Reskrim Polda melalui pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS;
dan
c. Kapolrestabes/Kapolresmetro/Kapolres/Kapolresta melalui Kasat
Reskrim.
(3) Bantuan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan sampai dengan penyelesaian
dan penyerahan berkas perkara, tersangka dan barang bukti ke Penuntut
Umum.
Pasal 10
(1) Bantuan pemeriksaan labfor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf a, meliputi:
a. pemeriksaan bidang fisika forensik;
b. pemeriksaan bidang kimia dan biologi forensik;
c. pemeriksaan bidang dokumen dan uang palsu forensik; dan
d. pemeriksaan bidang balistik dan metalurgi forensik.
(2) Permohonan pemeriksaan labfor diajukan secara tertulis oleh pimpinan
instansi PPNS kepada Kepala Laboratorium Forensik (Ka Labfor) melalui
pengemban fungsi Korwas setempat dengan menjelaskan maksud dan tujuan
pemeriksaan, dengan dilampiri:
a. laporan kejadian;
b. laporan kemajuan; dan
c. berita acara penemuan, penyitaan, penyisihan, pembungkusan, dan
penyegelan barang bukti.
(3) Dalam hal pemeriksaan labfor memerlukan bahan pembanding, PPNS
mengirimkan bahan pembanding dimaksud dengan melampirkan berita acara
atau surat keterangan otentikasi atau keaslian dari produsen resmi.
Pasal 11
(1) Pemeriksaan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf
b, meliputi:
a. pemeriksaan perbandingan sidik jari laten dengan sidik jari
pembanding;
b. pembuatan sinyalemen file foto daftar pencarian orang;
c. pembuatan foto tempat kejadian perkara, barang bukti dan tersangka;
d. pembuatan lukisan sketsa raut wajah pelaku kejahatan berdasarkan
keterangan saksi; dan
e. pembuatan foto rekonstruksi.
(2) Pemeriksaan identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
petugas identifikasi Polri.
(3) Dalam hal memerlukan bantuan pemeriksaan identifikasi, PPNS mengajukan
surat permintaan kepada pejabat pengemban fungsi identifikasi Polri melalui
pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat, dengan melampirkan:
a. laporan kejadian;
b. laporan kemajuan;
c. berita acara pemeriksaan saksi/tersangka; dan
d. dalam pemeriksaan sidik jari disertai dengan barang bukti sidik jari
laten dan sidik jari pembanding.
(4) Dalam keadaan tertentu permintaan pemeriksaan identifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat didahului secara lisan dan segera mengirimkan
surat permintaan.
Pasal 12
(1) Pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf
c, meliputi:
a. motivasi melakukan tindak pidana; dan
b. profil psikologi saksi dan/atau tersangka;
(2) Pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
petugas psikologi Polri.
(3) Permintaan pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
PPNS mengajukan secara tertulis kepada fungsi Psikologi Polri melalui
pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat.
Pasal 13
(1) Bantuan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a
berdasarkan permintaan PPNS.
(2) Permintaan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara
tertulis kepada pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat dengan
menjelaskan:
a. alasan permintaan bantuan;
b. perkara yang ditangani;
c. waktu penugasan; dan
d. jumlah penyidik.
(3) Dalam keadaan tertentu permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat didahului secara lisan dan segera mengirimkan surat
permintaan.
(4) Penyidik yang diperbantukan kepada PPNS, wajib dilengkapi dengan surat
perintah tugas.
Pasal 14
(1) Bantuan peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b
berdasarkan permintaan PPNS.
(2) Permintaan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara
tertulis kepada pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat dengan
menjelaskan:
a. alasan permintaan bantuan.
b. tujuan penggunaan peralatan;
c. waktu penggunaan; dan
d. jenis dan jumlah peralatan yang diperlukan.
(3) Dalam keadaan tertentu permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat didahului secara lisan, kemudian segera mengirimkan surat
permintaan.
(4) Bantuan peralatan kepada PPNS diberikan beserta personel yang
mengawaki, dan wajib dilengkapi dengan surat perintah tugas.
Pasal 15
(1) Pengerahan kekuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c
berdasarkan permintaan PPNS.
(2) Permintaan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara
tertulis kepada pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat dengan
menjelaskan:
a. alasan permintaan bantuan.
b. tujuan pengerahan kekuatan;
c. waktu penugasan; dan
d. jumlah kekuatan dan kompetensinya.
(3) Bantuan pengerahan kekuatan kepada PPNS berupa personel dan
peralatannya, serta wajib dilengkapi dengan surat perintah tugas.
Pasal 16
Bantuan pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a
dilakukan terhadap saksi/tersangka yang berada:
a. di luar wilayah hukum kewenangan PPNS, oleh penyidik berdasarkan
permintaan PPNS;
b. di luar negeri, oleh penyidik berdasarkan permintaan PPNS, dan
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan Set NCB-Interpol serta Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia.
Pasal 17
(1) Bantuan perintah membawa saksi/tersangka sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) huruf b dilakukan atas surat permintaan PPNS, yang
dilampiri:
a. laporan kejadian;
b. laporan kemajuan;
c. kopi surat panggilan pertama; dan
d. alasan/pertimbangan perlunya dilakukan perintah membawa.
(2) Bantuan perintah membawa saksi/tersangka dilakukan setelah PPNS
memanggil 1 (satu) kali tidak datang tanpa memberi alasan yang sah,
dipanggil sekali lagi dan meminta bantuan penyidik untuk membawa
kepadanya.
(3) Penyidik yang melaksanakan tugas wajib dilengkapi surat perintah tugas dan
surat perintah membawa, serta melibatkan PPNS.
Pasal 18
(1) Bantuan penangkapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (3) huruf c
dilakukan atas surat permintaan PPNS, memuat uraian singkat perkara,
identitas tersangka dan pertimbangan perlunya dilakukan penangkapan.
(2) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri:
a. laporan kejadian; dan
b. laporan kemajuan.
(3) Penyidik setelah menerima surat permintaan bantuan penangkapan dari
PPNS, wajib segera mempelajari dan mempertimbangkan perlu tidaknya
diberikan bantuan penangkapan.
(4) Dalam hal penyidik menyetujui permintaan, wajib segera mempersiapkan
personel, peralatan dan administrasi penangkapan, serta mengkoordinasikan
pelaksanaannya dengan PPNS.
(5) Setelah berhasil melakukan penangkapan, penyidik segera menyerahkan
tersangka beserta administrasi penangkapan kepada PPNS, dan dituangkan
dalam berita acara penyerahan tersangka.
(6) Penyidik memberitahukan penangkapan tersangka kepada keluarga atau
kuasa hukumnya.
Pasal 19
(1) Bantuan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf d
dilakukan atas surat permintaan PPNS yang memuat uraian singkat perkara,
identitas tersangka, pasal yang dilanggar dan pertimbangan perlunya
dilakukan penahanan.
(2) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri:
a. laporan kejadian; dan
b. laporan kemajuan;
(3) Penyidik setelah menerima surat permintaan bantuan penahanan dari PPNS,
wajib segera mempelajari dan mempertimbangkan perlu tidaknya dilakukan
penahanan.
(4) Penyidik menyerahkan administrasi penahanan kepada PPNS, untuk
kelengkapan berkas perkara.
(5) Penyidik memberitahukan penahanan tersangka kepada keluarga atau kuasa
hukumnya.
(6) Tenggang waktu pengajuan surat permintaan PPNS kepada penyidik dalam
hal akan melakukan:
a. perpanjangan masa penahanan, paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum
batas waktu penahanan habis;
b. pembantaran penahanan, paling lambat 2 (dua) hari sebelum
dibantarkan;
c. penangguhan penahanan, paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
ditangguhkan;
d. pengalihan jenis penahanan, paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
dialihkan; dan
e. pengeluaran penahanan, paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
dikeluarkan.
Pasal 20
(1) Bantuan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (3) huruf
e dilakukan atas surat permintaan PPNS, memuat uraian singkat perkara,
sasaran penggeledahan, dan pertimbangan perlunya dilakukan
penggeledahan.
(2) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri:
a. laporan kejadian; dan
b. laporan kemajuan;
(3) Penyidik setelah menerima surat permintaan bantuan penggeledahan dari
PPNS, wajib segera mempelajari dan mempertimbangkan dapat tidaknya
diberikan bantuan penggeledahan.
(4) Dalam hal penyidik menyetujui permintaan, wajib segera mempersiapkan
personel, peralatan dan administrasi penggeledahan, serta
mengkoordinasikan pelaksanaannya dengan PPNS.
Pasal 21
(1) Bantuan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f
dilakukan atas surat permintaan PPNS, memuat uraian singkat perkara,
sasaran penyitaan, dan pertimbangan perlunya dilakukan penyitaan.
(2) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri:
a. laporan kejadian; dan
b. laporan kemajuan;
(3) Penyidik setelah menerima surat permintaan bantuan penyitaan dari PPNS,
wajib segera mempelajari dan mempertimbangkan perlu tidaknya diberikan
bantuan penyitaan.
(4) Dalam hal penyidik menyetujui permintaan, wajib segera mempersiapkan
personel, peralatan dan administrasi penyitaan, serta mengkoordinasikan
pelaksanaannya dengan PPNS.
Pasal 22
Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf d,
dilakukan sebagai berikut:
a. sebelum PPNS menghentikan penyidikan, dilaksanakan gelar perkara bersama
penyidik;
b. dalam hal hasil gelar perkara menyimpulkan bahwa syarat penghentian
penyidikan telah terpenuhi, maka diterbitkan surat perintah penghentian
penyidikan (SP3) dan surat ketetapan penghentian penyidikan;
c. PPNS mengirimkan surat pemberitahuan penghentian penyidikan kepada:
1. penuntut umum melalui penyidik; dan
2. tersangka atau keluarga dan/atau penasehat hukumnya.
Pasal 23
Tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf e,
dilakukan dalam hal:
a. PPNS menemukan dan/atau menerima informasi, laporan atau pengaduan
masyarakat tentang adanya peristiwa yang diduga tindak pidana di luar
kewenangan PPNS, maka diteruskan kepada penyidik;
b. penyidik menemukan dan/atau menerima informasi, laporan atau pengaduan
masyarakat tentang adanya peristiwa yang diduga tindak pidana yang juga
menjadi wewenang PPNS, maka penyidik dapat melakukan proses
penyidikan atau meneruskan kepada PPNS.
Pasal 24
Penyidikan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf g,
dilaksanakan melalui rapat koordinasi untuk:
a. membentuk Tim Penyidik;
b. menyusun rencana penyidikan:
1. menentukan pasal yang dipersangkakan;
2. menentukan cara bertindak;
3. menentukan waktu kegiatan;
4. menentukan pelibatan personel; dan
5. menentukan sarana, prasarana dan anggaran;
c. menganalisis dan mengevaluasi kegiatan dan hasil;
d. pengendalian.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 25
(1) Penyidik melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyidikan yang
dilakukan oleh PPNS.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
pengemban fungsi Korwas PPNS melalui kegiatan:
a. menghadiri dan memberikan petunjuk dalam gelar perkara yang
dilaksanakan PPNS;
b. meminta dan meneliti laporan kemajuan penyidikan dari PPNS;
c. bersama PPNS meneliti berkas perkara hasil penyidikan yang
dilaksanakan oleh PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum;
d atas dasar permintaan pimpinan instansi PPNS melaksanakan
supervisi bersama ke jajaran PPNS yang bersangkutan;
e. melakukan pendataan jumlah, instansi dan wilayah penugasan PPNS,
penanganan perkara oleh PPNS serta bantuan penyidikan dari
penyidik; dan
f. analisis dan evaluasi pelaksanaan tugas penyidikan yang dilakukan
oleh PPNS.
Pasal 26
(1) PPNS menyelenggarakan gelar perkara terhadap setiap perkara yang
ditangani, dan dapat dihadiri oleh penyidik dan pihak terkait.
(2) Gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada:
a. awal penyidikan;
b. pertengahan penyidikan; dan
c. akhir penyidikan.
(3) Gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan
untuk:
a. menentukan peristiwa yang akan ditangani merupakan tindak pidana
atau bukan;
b. menentukan pasal yang disangkakan;
c. menyusun rencana penyidikan
(4) Gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan
guna:
a. menyempurnakan ketepatan penerapan pasal;
b. mengetahui perkembangan penyidikan;
c. mengetahui dan mengatasi kendala atau kekurangan penyidikan;
d. melengkapi alat bukti; dan
e. menyempurnakan proses penyidikan.
(5) Gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan
guna:
a. menganalisis secara yuridis terhadap keterkaitan saksi, tersangka dan
barang bukti untuk memenuhi unsur-unsur pasal yang disangkakan;
b. menganalisis perbuatan pelaku untuk menentukan peran;
c. mengetahui kelengkapan administrasi penyidikan; dan
d. mengetahui kelengkapan berkas perkara.
Pasal 27
Laporan kemajuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b
sekurang-kurangnya meliputi:
a. jenis tindak pidana;
b. uraian singkat keterangan tersangka, saksi dan ahli;
c. barang bukti;
d. pasal yang disangkakan; dan
e. uraian singkat tindakan yang telah dilaksanakan oleh PPNS.
Pasal 28
Penelitian berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c
meliputi:
a. persyaratan formal; dan
b. persyaratan materiil, dalam hal penyidik berwenang melakukan penyidikan
terhadap perkara yang ditangani oleh PPNS.
Pasal 29
(1) Pendataan PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf e,
dilaksanakan oleh:
a. pengemban fungsi Korwas PPNS di tingkat Polrestabes/Polresmetro/
Polres/Polresta, untuk instansi PPNS di tingkat Kabupaten/Kota;
b. pengemban fungsi Korwas PPNS di tingkat Polda, untuk instansi
PPNS di tingkat Provinsi; dan
c. pengemban fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri, untuk instansi
PPNS di tingkat Pusat.
(2) Pengemban fungsi Korwas di tingkat Polrestabes/Polresmetro/Polres/Polresta
melaporkan data kepada pengemban fungsi Korwas tingkat Polda.
(3) Pengemban fungsi Korwas ditingkat Polda melaporkan data kepada
pengemban fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri.
(4) Pengemban fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri menghimpun data
dimaksud secara nasional.
(5) Pelaporan data dilaksanakan setiap bulan dan setiap tahun.
Pasal 30
(1) Analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf f
meliputi:
a. penanganan perkara oleh PPNS;
b. hambatan penanganan perkara oleh PPNS; dan
c. hambatan Polri dalam melaksanakan koordinasi, pengawasan dan
pembinaan teknis terhadap PPNS.
(2) Penyidik melaksanakan analisis dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas
penyidikan yang dilakukan oleh PPNS setiap 6 (enam) bulan sekali.
BAB V
PEMBINAAN
Pasal 31
(1) Penyidik wajib melaksanakan pembinaan penyidikan kepada PPNS.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Pendidikan dan Latihan (Diklat) fungsi teknis penyidikan; dan
b. peningkatan kemampuan.
Pasal 32
(1) Pelaksanaan Diklat calon PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(2) huruf a oleh Bareskrim Polri setelah dikoordinasikan dengan:
a. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
b. instansi PPNS yang mengirimkan peserta Diklat;
c. Lemdiklat Polri; dan
d. instansi terkait.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terkait dengan
persyaratan, jumlah calon peserta, rekomendasi pengangkatan sebagai
PPNS dan pendataan.
(3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terkait jumlah calon
peserta, waktu, tempat dan jenis Diklat.
(4) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terkait dengan
tempat pelaksanaan dan penyelenggaraan Diklat.
(5) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terkait dengan
narasumber/tenaga pengajar, tes kesehatan dan psykologi.
Pasal 33
(1) Peningkatan kemampuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2)
huruf b meliputi:
a pelatihan/pencerahan fungsi teknis penyidikan; dan
b. seminar;
(2) Pelaksanaan pembinaan penyidikan dilakukan di tingkat Mabes Polri dan di
tingkat Polda.
Pasal 34
(1) Rekomendasi calon PPNS diterbitkan oleh Kapolri yang dapat didelegasikan
kepada Kabareskrim Polri, setelah dinyatakan lulus mengikuti Diklat.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Menteri Hukum dan HAM, untuk diterbitkan keputusan pengangkatan PPNS.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat peraturan ini mulai berlaku, maka:
a. Peraturan Kapolri Nomor 25 Tahun 2007 tentang Koordinasi, Pengawasan
dan Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
b. Peraturan Kapolri Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerbitan Kartu
Tanda Penyidik, Tanda Kewenangan dan Lencana Penyidik Pegawai Negeri
Sipil;
c. Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pembinaan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil; dan
d. Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan dan Latihan Bagi Kepolisian Khusus dan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Kapolri ini diundangkan dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2010
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
Drs. H. BAMBANG HENDARSO DANURI, M.M.
JENDERAL POLISI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 September 2010
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 439

Permenhut Nomer : P.55/Menhut-II/2006 Ttg Penataan Hasil Hutan Yang berasal dari Hutan Negara

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN
NOMOR : P. 55/MENHUT-II/2006
TENTANG
PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN
YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA
MENTERI KEHUTANAN,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002
Bab VII Pasal 73, telah ditetapkan Keputusan Menteri Kehutanan
No. 126/KPTS-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan;
b. bahwa berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan, serta dengan
mempertimbangkan perkembangan kondisi saat ini, maka perlu
dilakukan pengaturan kembali penatausahaan hasil hutan;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dipandang
perlu menetapkan kembali Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal
dari Hutan Negara dengan Peraturan Menteri Kehutanan.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; jo.
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-Undang;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Dekonsentrasi;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Tugas Pembantuan;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan
dan Penggunaan Kawasan Hutan;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana
Reboisasi;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan;
11. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; jo. Nomor 171/M
Tahun 2005
13. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 jo.
Nomor 62 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
14. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 jis.
Nomor 15 Tahun 2005 dan Nomor 63 Tahun 2005 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik
Indonesia;
15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005 jis.
Nomor P.17/Menhut-II/2005 dan Nomor P.35/Menhut-II/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG
PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN YANG BERASAL DARI HUTAN
NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Penatausahaan Hasil Hutan adalah kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang
perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, penandaan, pengukuran dan
pengujian, pengangkutan/peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan.
2. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas
tanah.
3. Hasil hutan adalah benda-benda hayati yang berupa Hasil Hutan Kayu (HHK) dan
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) selain tumbuhan dan satwa liar yang dipungut
dari hutan negara.
4. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan alam yang selanjutnya
disebut IUPHHK Alam adalah izin untuk memanfaatkan kayu alam pada hutan
produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, penanaman,
pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil hutan kayu.
5. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) pada hutan alam
adalah izin untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam.
6.Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan tanaman yang selanjutnya
disebut IUPHHK Tanaman adalah izin untuk memanfaatkan kayu tanaman pada
hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penyiapan lahan, perbenihan atau
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau
penebangan, dan pemasaran hasil hutan kayu.
7. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) pada hutan tanaman
adalah izin untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu hasil budidaya pada hutan
produksi. yang kegiatannya terdiri dari penyiapan lahan, perbenihan atau
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan, dan pemasaran
hasil hutan bukan kayu.
8. Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) adalah izin untuk melakukan
pengambilan hasil hutan kayu meliputi pemanenan, pengangkutan, dan pemasaran
untuk jangka waktu tertentu dan volume tertentu di dalam hutan produksi.
9. Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK) adalah izin dengan segala
bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu antara lain rotan, madu,
buah-buahan, getah-getahan, tanaman obat-obatan dan lain sebagainya di dalam
hutan lindung dan atau hutan produksi.
10. Pemegang izin adalah Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi atau Perorangan
yang diberi izin untuk melakukan kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan dan
atau pemungutan hasil hutan.
11. Izin Lainnya yang Sah (ILS) adalah izin pemanfaatan hutan yang diberikan dalam
bentuk Izin Pemanfaatan Kayu.
12. Pemenang Lelang adalah Badan Usaha, Lembaga atau Perorangan yang telah
ditetapkan oleh Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) sebagai
pihak yang berhak memiliki hasil hutan yang dilelang.
13. Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) adalah izin untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dan
atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dikonversi, penggunaan
kawasan dengan status pinjam pakai, tukar menukar dan dari Areal Penggunaan
Lain (APL) atau Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK).
14. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) adalah izin mendirikan
industri untuk mengolah kayu bulat (KB) dan atau Kayu Bulat Kecil (KBK) menjadi
barang setengah jadi atau barang jadi.
15. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK) adalah izin
mendirikan industri untuk mengolah hasil hutan bukan kayu menjadi barang
setengah jadi atau barang jadi.
16. Industri Pengolahan Kayu Lanjutan (IPKL) adalah industri yang mengolah hasil
hutan yang bahan bakunya berasal dari produk industri primer hasil hutan kayu.
17. Industri Pengolahan Kayu Terpadu adalah industri primer hasil hutan kayu dan
industri pengolahan kayu lanjutan yang berada dalam satu lokasi industri dan
dalam satu badan hukum.
18. Blok Kerja Tebangan adalah satuan luas hutan tertentu yang akan ditebang dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun.
19. Petak Kerja Tebangan adalah bagian dari blok tebangan yang luasnya tertentu dan
menjadi unit usaha pemanfaatan terkecil yang mendapat perlakuan silvikultur yang
sama.
20. Tempat Pengumpulan Kayu (TPn) adalah tempat untuk pengumpulan kayu-kayu
hasil penebangan/pemanenan di sekitar petak kerja tebangan yang bersangkutan .
21. Tempat Penimbunan Kayu (TPK) adalah tempat milik pemegang
IUPHHK/IPHHK/IPK di dalam atau di sekitar arealnya yang berfungsi menimbun
kayu bulat dan atau kayu bulat kecil dari beberapa TPn.
22. Tempat Penimbunan Kayu Industri (TPK Industri) adalah tempat penimbunan kayu
di air atau di darat (logpond atau logyard) yang berada di lokasi industri dan
sekitarnya.
23. Tempat Penimbunan Kayu Antara (TPK Antara) adalah tempat untuk menampung
kayu bulat atau kayu bulat kecil baik berupa logpond atau Logyard, yang lokasinya
di luar areal izin IUPHHK/IPHHK/IPK/ILS dengan penetapan oleh pejabat yang
berwenang.
24. Tempat Penampungan Terdaftar adalah tempat untuk menampung kayu olahan
milik perusahaan yang telah mendapatkan pengakuan dari Dinas Kabupaten/Kota
25.Pejabat Pengesah Laporan Hasil Penebangan (P2LHP) adalah Pegawai Kehutanan
yang memenuhi kualifikasi sebagai Pengawas Penguji Hasil Hutan yang diangkat
dan diberi tugas, tanggung jawab serta wewenang untuk melakukan pengesahan
laporan hasil penebangan kayu bulat dan atau kayu bulat kecil.
26. Pejabat Pengesah Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (P2LP-HHBK) adalah
Pegawai Kehutanan yang memenuhi kualifikasi sebagai Pengawas Penguji Hasil
Hutan yang diangkat dan diberi tugas, tanggung jawab serta wewenang untuk
melakukan pengesahan laporan produksi hasil hutan bukan kayu.
27. Pejabat Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat (P3KB) adalah Pegawai Kehutanan yang
mempunyai kualifikasi sebagai Pengawas Penguji Hasil Hutan dan diangkat serta
diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas kayu bulat yang diterima
industri primer hasil hutan, TPK Antara, atau pelabuhan umum.
28. Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (P2SKSKB) adalah pegawai yang
bekerja di bidang kehutanan baik PNS maupun bukan PNS, yang mempunyai
kualifikasi sebagai Pengawas Penguji Hasil Hutan yang diangkat dan diberi
wewenang untuk menerbitkan dokumen SKSKB.
29. Penerbit Faktur (Penerbit FA-KB/FA-HHBK/FA-KO) adalah karyawan perusahaan
yang bergerak di bidang kehutanan yang mempunyai kualifikasi sebagai Penguji
Hasil Hutan yang diangkat dan diberi wewenang untuk menerbitkan dokumen
Faktur.
30. Badan Usaha adalah perusahaan yang berbadan hukum dan memiliki perizinan
yang sah dari instansi yang berwenang dan bergerak dalam bidang usaha
kehutanan.
31. Perorangan dalam kegiatan penatausahaan hasil hutan adalah orang seorang yang
melakukan usaha di bidang kehutanan.
32. Timber cruising adalah kegiatan pengukuran, pengamatan dan pencatatan
terhadap pohon (yang direncanakan akan ditebang), pohon inti, pohon yang
dilindungi, permudaan, data lapangan lainnya, untuk mengetahui jenis, jumlah,
diameter, tinggi pohon, serta informasi tentang keadaan lapangan/lingkungan,
yang dilaksanakan dengan intensitas tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
33. Laporan Hasil Cruising (LHC) adalah hasil pengolahan data pohon dari pelaksanaan
kegiatan timber cruising pada petak kerja tebangan yang memuat nomor pohon,
jenis, diameter, tinggi pohon bebas cabang, dan taksiran volume kayu.
34. Buku Ukur (BU) adalah catatan harian atas hasil pengukuran kayu tebangan yang
dibuat di TPn.
35.Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat (LHP-KB) adalah dokumen tentang realisasi
seluruh hasil penebangan pohon berupa kayu bulat pada petak/blok yang
ditetapkan.
36. Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat Kecil (LHP-KBK) adalah dokumen tentang
realisasi seluruh hasil penebangan pohon berupa kayu bulat kecil pada petak/blok
yang ditetapkan.
37. Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (LP-HHBK) adalah dokumen tentang
realisasi seluruh hasil pemanenan berupa hasil hutan bukan kayu pada areal yang
ditetapkan.
38. Kayu Bulat (KB) adalah bagian dari pohon yang ditebang dan dipotong menjadi
batang dengan ukuran diameter 30 (tiga puluh) cm atau lebih.
39. Kayu Bulat Kecil (KBK) adalah pengelompokan kayu yang terdiri dari kayu dengan
diameter kurang dari 30 (tiga puluh) cm, cerucuk, tiang jermal, tiang pancang,
galangan rel, cabang, kayu bakar, bahan arang, dan kayu bulat dengan diameter
30 (tiga puluh) cm atau lebih berupa kayu sisa pembagian batang, tonggak atau
kayu yang direduksi karena mengalami cacat/busuk bagian hati pohon/gerowong
lebih dari 40% (empat puluh persen).
40. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah hasil hutan selain kayu yang dipungut dari
dalam hutan lindung dan atau hutan produksi antara lain berupa rotan, madu,
buah-buahan, getah-getahan, tanaman obat-obatan dan lain sebagainya.
41. Kayu Olahan (KO) adalah produk hasil pengolahan hasil hutan kayu.
42. Kayu pacakan adalah kayu berbentuk persegi yang diolah di hutan dari KB atau
KBK dengan menggunakan kapak, gergaji rantai atau alat sejenisnya.
43. Hasil hutan lelang adalah hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu yang
berasal dari pelelangan yang sah.
44. Daftar Kayu Bulat (DKB/DKB-FA) adalah dokumen yang memuat identitas kayu
bulat sebagai dasar penerbitan dan merupakan lampiran SKSKB/FA-KB.
45. Daftar Kayu Bulat Kecil (DKBK) adalah dokumen yang memuat identitas kayu bulat
kecil yang digunakan sebagai dasar penerbitan dan merupakan lampiran FA-KB.
46. Daftar Hasil Hutan Bukan Kayu (DHHBK) adalah dokumen yang memuat identitas
hasil hutan bukan kayu yang digunakan sebagai dasar penerbitan dan merupakan
lampiran FA-HHBK.
47.Daftar Kayu Olahan (DKO) adalah dokumen yang memuat identitas kayu olahan
sebagai dasar penerbitan dan merupakan lampiran FA-KO.
48. Surat keterangan sahnya hasil hutan adalah dokumen-dokumen yang merupakan
bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil
hutan.
49. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah dokumen angkutan yang
diterbitkan oleh Pejabat yang Berwenang, dipergunakan dalam pengangkutan,
penguasaan atau pemilikan hasil hutan berupa kayu bulat yang diangkut secara
langsung dari areal ijin yang sah pada hutan alam negara dan telah melalui proses
verifikasi legalitas, termasuk telah dilunasi PSDH dan atau DR.
50. Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan
oleh Penerbit FA-KB yang merupakan Petugas Perusahaan, dipergunakan dalam
pengangkutan hasil hutan berupa kayu bulat atau kayu bulat kecil yang berasal
dari perizinan yang sah pada hutan alam negara atau hutan tanaman di kawasan
hutan produksi, dan untuk pengangkutan lanjutan kayu bulat atau kayu bulat kecil
yang berasal dari kawasan hutan negara yang berada di luar kawasan.
51. Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan
oleh Penerbit FA-KO, dipergunakan dalam pengangkutan untuk hasil hutan berupa
kayu olahan berupa kayu gergajian, kayu lapis, veneer, serpih dan laminated
veneer lumber (LVL).
52. Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK) adalah dokumen angkutan
yang diterbitkan oleh Petugas FA-HHBK, yang digunakan untuk pengangkutan
HHBK yang berasal dari areal ijin yang sah pada hutan alam negara.
53. Pengangkutan lanjutan adalah pengangkutan hasil hutan berupa kayu bulat atau
kayu bulat kecil yang sebelumnya mengalami transit di TPK Antara/TPK Industri.
54. Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB) adalah dokumen yang menggambarkan
penerimaan, pengeluaran dan sisa persediaan kayu bulat yang dibuat di TPK
dimana terdapat mutasi kayu bulat.
55. Laporan Mutasi Kayu Bulat Kecil (LMKBK) adalah dokumen yang menggambarkan
penerimaan, pengeluaran dan sisa persediaan kayu bulat kecil yang dibuat di TPK
dimana terdapat mutasi kayu bulat kecil.
56.Laporan Mutasi Hasil Hutan Bukan Kayu (LMHHBK) adalah dokumen yang
menggambarkan penerimaan, pengeluaran dan sisa persediaan hasil hutan bukan
kayu.
57. Laporan Mutasi Kayu Olahan (LMKO) adalah dokumen yang menggambarkan
penerimaan, pengeluaran dan sisa persediaan kayu olahan yang dibuat di industri
atau di tempat penampungan yang sah.
58. Kelompok Jenis Kayu adalah pengelompokan jenis-jenis kayu yang telah ditebang
berdasarkan kelompok tarif PSDH/DR, yang sekaligus mewakili hak-hak negara
yang melekat pada kayu bulat tersebut.
59. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab
di bidang Bina Produksi Kehutanan.
60. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab dibidang
kehutanan di daerah Provinsi.
61. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang kehutanan di daerah Kabupaten/Kota.
62. Balai adalah unit pelaksana teknis yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Maksud dan Ruang Lingkup Penatausahaan Hasil Hutan
Pasal 2
(1) Penatausahaan hasil hutan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan
pedoman kepada semua pihak yang melakukan usaha atau kegiatan di bidang
kehutanan, sehingga penatausahaan hasil hutan berjalan dengan tertib dan lancar,
agar kelestarian hutan, pendapatan negara, dan pemanfaatan hasil hutan secara
optimal dapat tercapai.
(2) Ruang lingkup penatausahaan hasil hutan meliputi obyek dari semua jenis hasil
hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, hasil hutan bukan kayu, hasil hutan
olahan yang berasal dari perizinan sah pada hutan negara.
(3) Khusus untuk hasil hutan produk Perum Perhutani, penatausahaan hasil hutannya
diatur secara tersendiri oleh Direksi Perum Perhutani, kecuali untuk hal-hal yang
berkaitan dengan prosedur pengangkutan hasil hutan mengikuti peraturan ini.
Bagian Ketiga
Pengukuran Hasil Hutan
Pasal 3
(1) Semua hasil hutan yang berasal dari hutan negara wajib dilakukan pengukuran dan
pengujian oleh tenaga yang berkualifikasi penguji hasil hutan sebagai dasar
perhitungan PSDH dan atau DR.
(2) Tata cara pengukuran dan pengujian hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
BAB II
PERENCANAAN
Bagian Kesatu
Pembuatan Laporan Hasil Cruising (LHC)
Pasal 4
(1) Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang akan
melakukan penebangan/pemanenan, wajib melaksanakan timber cruising, dan bagi
pemegang IPK harus melaksanakan survei potensi.
(2) Timber cruising atau survei potensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.
(3) Hasil pelaksanaan timber cruising sebagaimana dimaksud pada ayat (2) khusus
untuk IUPHHK pada hutan alam, wajib dibuatkan LHC Hutan Alam dengan blanko
model DKA.101a dan Rekapitulasi LHC Tebangan Tahunan dengan blanko model
DKA.101c yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan.
(4) Hasil pelaksanaan timber cruising sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk
IUPHHK pada hutan tanaman, wajib dibuatkan LHC Tegakan Hutan Tanaman dengan
blanko model DKA.101b yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan.
(5) Hasil pelaksanaan survei potensi IPK sebagaimana dimaksud ayat (1) ditandatangani
pemegang izin dan dilaporkan kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi.
(6) LHC dan rekapitulasinya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan ayat (4) harus
dilaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan tembusan Kepala Dinas
Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Rencana Penebangan/Pemanenan/Pemungutan
Pasal 5
(1) Berdasarkan LHC Hutan Alam atau LHC Hutan Tanaman yang sudah dilaporkan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (6) pemegang IUPHHK menyusun dan
mengusulkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) kepada Kepala Dinas Provinsi untuk
mendapatkan penilaian dan pengesahan.
(2) Berdasarkan hasil survei potensi yang sudah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 4 ayat (5), pemegang IPK menyusun dan mengusulkan Bagan Kerja Tahunan
(BKT) kepada Kepala Dinas Provinsi dan tembusan kepada Direktur Jenderal.
(3) Berdasarkan RKT yang telah disahkan, pemegang IUPHHK dapat melakukan
pemanenan/penebangan atas hasil hutan kayu.
(4) Berdasarkan target penebangan atas izin pemungutan hasil hutan kayu (IPHHK)
yang telah disahkan, pemegang IPHHK dapat melakukan pemanenan/penebangan
atas hasil hutan kayu.
(5) Berdasarkan Bagan Kerja Tahunan (BKT) atas Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang
telah disahkan oleh Pejabat yang berwenang, pemegang IPK dapat melakukan
penebangan atas hasil hutan kayu.
(6) Berdasarkan target pemungutan hasil hutan bukan kayu atas Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) atau Izin Pemungutan Hasil Hutan
Bukan Kayu (IPHHBK), pemegang IUPHHBK/IPHHBK dapat melakukan pemungutan
atas hasil hutan bukan kayu.
BAB III
PEMANENAN/PENEBANGAN
Bagian Kesatu
Pembuatan Laporan Hasil Produksi (LHP)
Paragraf Kesatu
Pembuatan LHP Kayu Bulat (LHP-KB)
Pasal 6
(1) Pemegang IUPHHK, IPHHK dan IPK, setelah melaksanakan pemanenan/penebangan
dan pembagian batang di TPn, wajib melakukan pemberian nomor pada setiap
batang serta melakukan pengukuran/pengujian sesuai prosedur
pengukuran/pengujian yang berlaku.
(2) Pemberian nomor pada batang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sesuai
dengan nomor pohon dalam LHC.
(3) Pengukuran/pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bertujuan untuk
mengetahui jenis, ukuran/dimensi setiap batang kayu meliputi ukuran diameter
ujung dan pangkal, panjang dan volumenya.
(4) Penandaan pada batang berupa pemberian nomor batang, nomor petak tebangan,
diameter rata-rata, panjang dan jenis kayu, dilakukan dengan menerakan pahatan
atau tanda yang tidak mudah hilang :
a. pada kedua bontos untuk kayu hutan tanah kering, atau
b. pada badan kayu untuk kayu hutan rawa.
(5) Setiap pohon yang telah ditebang, pada setiap tunggaknya wajib diberi tanda yang
tidak mudah hilang atau dengan cara menoreh dengan alat pahat berupa nomor
pohon sesuai hasil cruising, jenis pohon, tanggal tebang, nomor petak kerja
tebangan/blok kerja tebangan tahunan dan tahun Rencana Kerja Tahunan (RKT).
(6) Dalam hal satu pohon dipotong menjadi beberapa batang, maka penomoran batang
sesuai nomor pohon ditambah dengan huruf A pada potongan bagian pangkal
(misalnya : 102A, 102 B dan seterusnya), dan apabila terjadi pemotongan kembali
atas batang tersebut, maka penomorannya ditambahkan huruf a dibelakang huruf A
(102Aa, 102Ab dan seterusnya).
(7) Data hasil pengukuran selanjutnya dicatat setiap hari ke dalam Buku Ukur Kayu Bulat
oleh petugas perusahaan dengan menggunakan blanko model DKA.102a.
(8) Terhadap kayu bulat yang telah dicatat sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
selanjutnya dilakukan penumpukan/penimbunan pada tempat yang terpisah dengan
kayu bulat yang telah disahkan.
(9) Berdasarkan Buku Ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemegang IUPHHK,
IPK, dan IPHHK, wajib membuat Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat (LHP-KB) di
TPn dengan menggunakan blanko model DKA.103a dan Rekapitulasi LHP-KB dengan
blanko model DK A.103b.
(10) LHP-KB berikut rekapitulasinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dibuat
sekurang-kurangnya dua kali dalam setiap bulan oleh petugas pembuat LHP, yaitu
pada setiap pertengahan dan akhir bulan dan dilakukan di TPn hutan dengan
memasukkan data yang berasal dari Buku Ukur.
(11) LHP-KB dibuat menurut masing-masing blok kerja tebangan, sehingga apabila dalam
satu tahun penebangan terdapat lebih dari satu blok kerja tebangan, maka LHP-KB
dibuat untuk masing-masing blok kerja tebangan yang dibuat secara terpisah.
(12) Pada setiap blok kerja tebangan wajib ditempatkan minimal satu orang pembuat
LHP-KB, apabila dalam 1 tahun terdapat 2 blok tebangan atau lebih, maka
ditempatkan 2 orang atau lebih petugas pembuat LHP-KB sesuai jumlah blok kerja
tebangan.
(13) Dalam hal 1 (satu) blok kerja tebangan berada dalam 2 (dua) wilayah
Kabupaten/Kota atau lebih, maka pembuatan LHP-KB dibuat di masing-masing
Kabupaten/Kota bersangkutan.
(14) Dalam hal tidak ada realisasi penebangan/pemanenan pohon, maka pemegang izin
diwajibkan membuat LHP-KB Nihil dengan menyebutkan alasan-alasannya pada
kolom keterangan.
Paragraf Kedua
Pembuatan LHP Kayu Bulat Kecil (LHP-KBK)
Pasal 7
(1) Pemegang IUPHHK atau Pemegang IPK yang memproduksi KBK setelah
melaksanakan penebangan dan pembagian batang di TPn wajib melakukan
pengukuran dengan menggunakan satuan stapel meter.
(2) Untuk keperluan pengukuran dengan satuan stapel meter, maka KBK hasil
penebangan harus ditumpuk sehingga setiap tumpukan mempunyai ukuran panjang,
lebar dan tinggi yang teratur di tempat terbuka, namun apabila kondisi lapangan
tidak memungkinkan dilakukan penumpukan, maka pengukuran dapat dilakukan
pada saat kayu sudah berada di alat angkut.
(3) Data hasil pengukuran selanjutnya dicatat setiap hari dalam Buku Ukur Kayu Bulat
Kecil oleh petugas perusahaan yang ditunjuk dengan menggunakan blanko model
DKA 102.b.
(4) Berdasarkan data pada Buku Ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), petugas
pembuat LHP wajib membuat Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat Kecil (LHP-KBK)
di TPn dengan menggunakan blanko model DKA. 103c dan Rekapitulasi LHP-KBK
dengan blanko model DKA.103d.
(5) LHP-KBK berikut rekapitulasinya dibuat sekurang-kurangnya dua kali dalam setiap
bulan oleh petugas pembuat LHP-KBK, yaitu pada setiap pertengahan dan akhir
bulan.
(6) Dalam hal tidak ada realisasi produksi KBK, maka pemegang izin diwajibkan
membuat LHP-KBK Nihil dengan menyebutkan alasan-alasannya pada kolom
keterangan.
Paragraf Ketiga
Pembuatan Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu
(LP-HHBK)
Pasal 8
(1) Pemegang IUPHHBK atau Pemegang IPHHBK setelah melaksanakan
pemanenan/pemungutan HHBK, wajib melakukan pengukuran berat/volume/jumlah
HHBK yang telah dipanen/dipungut tersebut.
(2) Hasil pengukuran sebagaimana dimaksud ayat (1) selanjutnya dicatat dan dibuatkan
Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (LP-HHBK) dengan menggunakan blanko
model DKA 103e dan Rekapitulasi LP-HHBK dengan blanko model DKA.103f.
(3) LP-HHBK berikut rekapitulasinya dibuat sekurang-kurangnya dua kali dalam setiap
bulan oleh petugas pembuat LP-HHBK, yaitu pada setiap pertengahan dan akhir
bulan.
(4) Dalam hal tidak ada realisasi produksi HHBK, maka pemegang izin diwajibkan
membuat LP-HHBK Nihil dengan menyebutkan alasan-alasannya pada kolom
keterangan.
Bagian Kedua
Pengangkatan Petugas Pembuat LHP
Pasal 9
(1) Pemegang IUPHHK, IUPHHBK, IPHHK, IPHHBK dan IPK, wajib memiliki Petugas
Pembuat LHP-KB/LHP-KBK/LP-HHBK.
(2) Petugas Pembuat LHP-KB/LHP-KBK/LP-HHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Tenaga yang berkualifikasi Penguji Hasil Hutan yang diangkat oleh Kepala
Dinas Provinsi.
(3) Sebagai persyaratan pengangkatan sebagai Petugas Pembuat LHP-KB/LHP-KBK/LPHHBK,
pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengusulkan
nama-nama calon kepada Kepala Dinas Provinsi, dengan dilampiri :
a. Copy sertifikat dan Kartu Penguji (KP) yang masih berlaku;
b. Lokasi/wilayah kerja penugasan dan specimen tanda tangan;
c. Rekomendasi teknis dari Kepala Balai.
untuk diangkat dengan Keputusan Kepala Dinas Provinsi.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud ayat (3), disertai dengan pemberian nomor
register masing-masing petugas dan disampaikan kepada pemegang izin dengan
tembusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan Kepala Balai.
(5) Pemberian nomor register sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan
cara memberi nomor urut register, kode provinsi, kode kabupaten/kota, kependekan
nama perusahaan pemegang izin, kependekan nama pembuat LHP dan komoditi
hasil hutan bersangkutan, dengan contoh sebagai berikut :
Nomor register pembuat LHP-KB di Provinsi Kalimantan Timur :
001/19/1904/BT/SLM/KB, dengan penjelasan :
001 = Nomor urut register
19 = Kode provinsi Kalimantan Timur
1904 = Kode Kabupaten Berau
BT = Kode PT. Begitu Terang
SLM = Kependekan nama petugas a.n. Solomon
KB = Kependekan nama sortimen Kayu Bulat
(6) Keputusan pengangkatan Petugas Pembuat LHP-KB atau LHP-KBK atau LP-HHBK
berlaku paling lama untuk 1 (satu) tahun.
Bagian Ketiga
Pengesahan LHP
Paragraf Kesatu
Pengesahan LHP-KB
Pasal 10
(1) Sekurang-kurangnya setiap pertengahan dan akhir bulan, Pembuat LHP-KB wajib
mengajukan permohonan pengesahan LHP-KB kepada P2LHP dalam wilayah
kerjanya dengan menggunakan contoh format sesuai lampiran VI.
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), P2LHP melakukan
pemeriksaan fisik sesuai ketentuan yang berlaku (Lampiran III)
(3) Hasil pemeriksaan fisik selanjutnya dimasukkan ke dalam Daftar Pemeriksaan Kayu
Bulat dengan menggunakan blanko model DKB.201a dan dibuatkan Berita Acara
Pemeriksaan LHP-KB menggunakan blanko model DKB 201h yang apabila hasilnya
dinyatakan benar, maka Berita Acara Pemeriksaan tersebut digunakan sebagai dasar
pengesahan LHP-KB.
(4) Pengesahan LHP-KB dilaksanakan oleh P2LHP di TPn.
(5) LHP-KB yang telah disahkan dijadikan dasar perhitungan pembayaran PSDH dan atau
DR.
(6) Pengesahan LHP-KB periode berikutnya dapat dilakukan setelah LHP periode
sebelumnya telah dilunasi PSDH dan atau DR.
(7) Terhadap kayu bulat yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
telah dilunasi PSDH dan atau DR-nya, selanjutnya dilakukan penumpukan pada
tempat yang terpisah dengan kayu bulat yang belum dibayar lunas PSDH dan atau
DR.
(8) LHP-KB dibuat rekapitulasi dan rekapitulasinya dilaporkan kepada Kepala Dinas
Kabupaten/Kota dengan tembusan :
a. Kepala Dinas Provinsi
b. Kepala Balai
c. P2SKSKB
d. P2LHP
Paragraf Kedua
Pengesahan LHP-KBK
Pasal 11
(1) Sekurang-kurangnya setiap pertengahan dan akhir bulan, Pembuat LHP-KBK wajib
mengajukan permohonan pengesahan LHP-KBK kepada P2LHP dalam wilayah
kerjanya dengan menggunakan contoh format sesuai lampiran VI.
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), P2LHP melakukan
pemeriksaan fisik sesuai ketentuan yang berlaku (Lampiran III).
(3) Hasil pemeriksaan fisik selanjutnya dimasukkan ke dalam Daftar Pemeriksaan Kayu
Bulat Kecil dengan menggunakan blanko model DKB.201b dan dibuatkan Berita Acara
Pemeriksaan LHP-KBK menggunakan blanko model DKB 201i yang apabila hasilnya
dinyatakan benar, maka Berita Acara Pemeriksaan tersebut digunakan sebagai dasar
pengesahan LHP-KBK.
(4) Pengesahan LHP-KBK dilakukan oleh P2LHP di TPn.
(5) LHP-KBK yang telah disahkan dijadikan dasar perhitungan pembayaran PSDH dan
atau DR.
(6) Pengesahan LHP-KBK periode berikutnya dapat dilakukan setelah LHP-KBK periode
sebelumnya telah dilunasi PSDH dan atau DR.
(7) Terhadap KBK yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan telah
dilunasi PSDH dan atau DR-nya, selanjutnya dilakukan penumpukan pada tempat
yang terpisah dengan KBK yang belum dibayar lunas PSDH dan atau DR.
(8) LHP-KBK dibuat rekapitulasi dan rekapitulasinya dilaporkan kepada Kepala Dinas
Kabupaten/Kota dengan tembusan :
a. Kepala Dinas Provinsi
b. Kepala Balai
c. Penerbit FA-KB
d. P2LHP
Paragraf Ketiga
Pengesahan LP-HHBK
Pasal 12
(1) Sekurang-kurangnya setiap pertengahan dan akhir bulan, Pembuat LP-HHBK wajib
mengajukan permohonan pengesahan LP-HHBK kepada P2LP-HHBK dengan
tembusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah kerjanya
dengan menggunakan contoh format sesuai lampiran VI.
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), P2LP-HHBK
melakukan pemeriksaan fisik sesuai ketentuan yang berlaku (Lampiran III).
(3) Hasil .....
15
(3) Hasil pemeriksaan fisik selanjutnya dimasukkan ke dalam Daftar Pemeriksaan Hasil
hutan Bukan Kayu dengan menggunakan blanko model DKB.201c dan dibuatkan
Berita Acara Pemeriksaan LP-HHBK dengan menggunakan blanko model DKB 201j
yang apabila hasilnya dinyatakan benar, maka Berita Acara Pemeriksaan tersebut
digunakan sebagai dasar pengesahan LP-HHBK.
(4) Pengesahan LP-HHBK dilakukan oleh P2LP-HHBK di tempat pengumpulan.
(5) LP-HHBK yang telah disahkan dijadikan dasar perhitungan pembayaran PSDH.
(6) Pengesahan LP-HHBK periode berikutnya dapat dilakukan setelah LP-HHBK periode
sebelumnya telah dilunasi PSDH
(7) LP-HHBK dibuat rekapitulasi dan rekapitulasinya dilaporkan kepada Kepala Dinas
Kabupaten/Kota dengan tembusan :
a. Kepala Dinas Provinsi
b. Kepala Balai
c. Penerbit FA-HHBK
d. P2LP-HHBK
BAB IV
PENGANGKUTAN HASIL HUTAN
Bagian Kesatu
Jenis-Jenis Dokumen
Pasal 13
(1) Dokumen legalitas yang digunakan dalam pengangkutan hasil hutan, terdiri dari :
a. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah blanko model DKB. 401
b. Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) adalah blanko model DKA 301,
c. Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK) adalah blanko model DKA
302,.
d. Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO) adalah blanko model DKA 303.
(2) Jenis-jenis dokumen angkutan untuk KB, KBK dan HHBK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, b dan c, merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan
yang berfungsi sebagai bukti legalitas dalam pengangkutan, penguasaan atau
pemilikan hasil hutan yang asal usulnya berasal dari hutan negara.
(3) Setiap pengangkutan KB dari TPK hutan dalam areal IUPHHK/IPK dengan tujuan ke
tempat lain di luar areal izin wajib disertai bersama-sama dengan dokumen SKSKB.
(4) Setiap pengangkutan lanjutan KB maupun KBK yang merupakan angkutan lanjutan
dari TPK Antara/TPK Industri wajib disertai bersama-sama dengan dokumen FA-KB.
(5) Setiap pengangkutan KBK yang berasal dari izin yang sah pada hutan alam negara,
wajib disertai bersama-sama dengan dokumen FA-KB.
(6) Setiap pengangkutan KB atau KBK yang berasal dari IUPHHK Tanaman dan Perum
Perhutani, wajib disertai bersama-sama dengan dokumen FA-KB.
(7) Setiap pengangkutan KO berupa kayu gergajian, serpih/chips, veneer, kayu lapis dan Laminated Veneer Lumber (LVL) yang diangkut dari dan ke industri kayu wajib
dilengkapi FA-KO.
(8) Pengangkutan KO berupa kayu gergajian, serpih/chips, veneer, kayu lapis dan
Laminated Veneer Lumber (LVL) dari tempat penampungan ke tempat lain selain ke
industri kayu, menggunakan Nota Perusahaan.
(9) Setiap pengangkutan produk KO selain sebagaimana disebut pada ayat (7) serta
produk olahan HHBK, menggunakan Nota Perusahaan penjual/pengirim.
(10) Setiap pengangkutan arang kayu yang berasal dari industri pengolahan yang akan
diangkut ke sentra industri atau tempat pengumpulan, wajib menggunakan dokumen
FA-KO.
(11) Setiap pengangkutan kayu hasil lelang temuan, sitaan atau rampasan wajib disertaibersama-sama dengan Surat Angkutan Lelang yang diterbitkan Kepala Dinas
Kehutanan Kabupaten/Kota setempat dengan menggunakan blanko model DKB. 402.
Pasal 14
(1) Penggunaan dokumen SKSKB, FA-KB, FA-KO, dan FA-HHBK sebagaimana dimaksud
pada Pasal 13 ayat (1), hanya berlaku untuk :
a. 1 (satu) kali penggunaan;
b. 1 (satu) pemilik;
c. 1 (satu) jenis komoditas hasil hutan;
d. 1 (satu) alat angkut; dan
e. 1 (satu) tujuan pengangkutan.
(2) Setiap alat angkut dapat digunakan untuk mengangkut hasil hutan dengan lebih darisatu dokumen angkutan.
(3) Dalam hal pengangkutan KO menggunakan beberapa peti kemas dalam satu alat
angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, maka setiap peti kemas harus
dilengkapi dengan dokumen FA-KO.
(4) Penggunaan 1 (satu) alat angkut yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud ayat
(1) huruf d, tidak berlaku bagi pengangkutan yang mengalami transit dan perubahan
alat angkut.
Pasal 15
(1) Dalam hal KB diolah di dalam kawasan hutan produksi dalam rangka efisiensi
pemanfaatan dan pengangkutan bahan baku, pelaksanaan administrasi
pengangkutannya diatur secara teknis oleh Direktur Jenderal.
(2) KO yang berasal dari kegiatan pengolahan dengan perizinan yang sah sebagaimana
dimaksud ayat (1) hanya dapat diangkut dengan tujuan Industri Primer Hasil Hutan
Kayu/Industri Terpadu yang merupakan group dengan asal kayu olahan tersebut.
(3) Pengangkutan KO sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib menggunakan dokumen FAKO
atas nama Industri Primer Hasil Hutan Kayu/Industri Terpadu yang
bersangkutan.
(4) Penggunaan FA-KO untuk KO sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan
setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Direktur Jenderal.
Pasal 16
(1) Pengangkutan KB dari areal IUPHHK Alam, yang karena sesuatu hal menjadi tidak
efisien bila menggunakan SKSKB, yang disebabkan hambatan faktor alam atau
hambatan lainnya, maka pengangkutan dapat diatur secara khusus oleh Dinas
Provinsi, yaitu dengan menggunakan dokumen FA-KB.
(2) Pengaturan pengangkutan sebagaimana dimaksud ayat (1), diberlakukan terhadap :
a. Pengangkutan yang dilakukan secara manual (non mekanis) seperti antara lain
yang diakibatkan oleh surutnya air sungai;
b. Kapal Pengangkut utama tidak dapat merapat ke tempat pemuatan/TPK sehingga
proses pemuatan KB dilakukan secara bertahap atau memerlukan waktu lebih dari
1 hari.
Bagian Kedua
Prosedur Pengangkutan
Paragraf Kesatu
Tata Cara Penerbitan SKSKB
Pasal 17
(1) Dalam setiap penerbitan SKSKB, pemohon mengajukan permohonan penerbitan
SKSKB kepada P2SKSKB dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
(2) KB yang akan diangkut sebagaimana dimaksud ayat (1) harus berasal dari LHP-KB
yang telah disahkan dan telah dibayar lunas PSDH dan DR-nya.
(3) Permohonan penerbitan SKSKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri :
a. Persediaan/stock KB pada saat pengajuan permohonan;
b. Bukti pelunasan PSDH dan DR
c. Daftar Kayu Bulat (DKB);
d. Identitas pemohon;
(4) Ketentuan .....
18
(4) Ketentuan pembuatan DKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang merupakan
lampiran SKSKB, ditetapkan sebagai berikut :
a. Pengisian DKB dilakukan dengan memindahkan data berupa nomor dan tanggal
LHP-KB, nomor batang, kelompok jenis kayu, ukuran dan volume KB dari LHP-KB
yang telah disahkan dan dibayar lunas PSDH dan DR-nya ke dalam DKB dengan
menggunakan blanko model DKA 104a
b. Pengisian DKB dilakukan dengan menggunakan mesin ketik;
c. DKB dibuat oleh pemegang izin/pemilik KB yang bersangkutan;
d. DKB dibuat 7 (tujuh) rangkap dan mengikuti peruntukan sesuai dokumen SKSKB.
e. DKB diperiksa dan disahkan oleh P2SKSKB dan dipakai sebagai dasar penerbitan
SKSKB.
(5) Dalam penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, apabila terjadi
pemotongan dari satu batang menjadi dua batang atau lebih, maka penomoran
potongan KB dalam pengisian DKB harus sama dengan nomor batang pada LHP-KB
dengan menambahkan huruf A, B, dan seterusnya, demikian pula penomoran serta
penandaan pada fisik potongan KB harus sesuai dengan perubahan tersebut.
Pasal 18
(1) Tata cara penerbitan SKSKB diatur sebagai berikut :
a. P2SKSKB selambat-lambatnya 1 (satu) hari setelah menerima permohonan
penerbitan SKSKB, wajib melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik KB dan
dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan sesuai tata cara pada Lampiran III;
b. Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, P2SKSKB wajib melakukan pemeriksaan
administrasi untuk memastikan bahwa kayu bulat yang akan diangkut berasal
dari LHP-KB yang telah disahkan dan dibayar lunas PSDH dan DR.
c. Dalam pemeriksaan fisik KB, P2SKSKB dibantu oleh 1 (satu) orang atau lebih,
yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang pengukuran dan
pengujian;
d. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan fisik KB sebagaimana dimaksud huruf a,
apabila dinyatakan benar, maka P2SKSKB segera menandatangani DKB dan
menerbitkan SKSKB, yang dilakukan di lokasi/tempat KB akan diangkut.
e. Pengisian kolom Hasil Hutan pada SKSKB oleh P2SKSKB didasarkan atas
rekapitulasi DKB.
(2) Pengisian blanko SKSKB dilakukan dengan mesin ketik.
Paragraf Kedua
Tata Cara Penerbitan FA-KB Untuk KB di TPK-Antara
Pasal 19
(1) Penerbitan FA-KB untuk angkutan lanjutan dari TPK Antara, dilakukan di TPK Antara oleh Penerbit FA-KB.
(2) TPK Antara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah TPK Antara yang telah
ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat berdasarkan
usulan perusahaan pemilik TPK Antara.
(3) Penetapan TPK Antara berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan salinan
keputusan penetapan tersebut disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi dan Kepala
Balai, dan selanjutnya dapat diperpanjang setelah mempertimbangkan akuntabilitas
yang dilaksanakan oleh Dinas Kabupaten/Kota.
(4) Dalam penerbitan FA-KB sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dilampiri DKB-FA.
(5) Tata cara pengisian DKB-FA, adalah sebagai berikut :
a. Pengisian DKB-FA dilakukan oleh Penerbit FA-KB dengan memindahkan data
identitas KB yang akan diangkut berupa nomor dan tanggal LHP-KB, nomor batang,
kelompok jenis kayu, ukuran dan volume kayu bulat dari SKSKB/DKB atau FAKB/
DKB-FA sebelumnya ke dalam DKB-FA dengan menggunakan blanko model DKA
104b.
b. Pengisian DKB-FA dilakukan dengan menggunakan mesin ketik;
c. DKB-FA dibuat 5 (lima) rangkap dan mengikuti peruntukan sesuai dokumen FA-KB.
d. Dalam hal terjadi perubahan fisik KB karena adanya pemotongan batang, maka
penomoran pada fisik KB mengikuti ketentuan Pasal 6 ayat (6), sehingga pengisian
data pada DKB-FA menyesuaikan penomoran yang baru.
(6) Berdasarkan DKB-FA sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Penerbit FA-KB
menerbitkan FA-KB.
Paragraf Ketiga
Tatacara Penerbitan FA-KB untuk KBK dari Hutan Alam
Di TPK Hutan dan TPK Antara
Pasal 20
(1) Penerbitan FA-KB untuk pengangkutan KBK yang berasal dari izin yang sah pada
hutan alam negara, atau izin lainnya yang sah dapat dilakukan oleh Penerbit FA-KB
di TPK Hutan maupun TPK Antara (angkutan lanjutan).
(2) Penerbitan FA-KB sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dilampiri DKBK.
(3) Tata cara pengisian DKBK, adalah sebagai berikut :
a. Pengisian .....
20
a. Pengisian DKBK di TPK Hutan dilakukan dengan memindahkan data KBK yang
akan diangkut berupa nomor dan tanggal LHP-KBK, kelompok jenis kayu, dan
volume KBK dari LHP-KBK yang telah disahkan dan telah dibayar lunas PSDH dan
DR-nya ke dalam DKBK dengan menggunakan blanko model DKA 104c.
b. Pengisian DKBK di TPK Antara dilakukan dengan memindahkan data dari FA-KB
sebelumnya ke dalam DKBK.
c. Pengisian DKBK dilakukan dengan menggunakan mesin ketik.
d. DKBK dibuat 5 (lima) rangkap dan mengikuti peruntukan sesuai dokumen FA-KB.
(4) Berdasarkan DKBK sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penerbit FA-KB
menerbitkan FA-KB.
(5) Pengisian FA-KB dilakukan dengan menggunakan mesin ketik.
Paragraf Keempat
Tatacara Penerbitan FA-KB Untuk Kayu Tanaman
Pasal 21
(1) Penerbitan FA-KB untuk KB atau KBK yang berasal dari IUPHHK Tanaman dan
Perum Perhutani dilakukan oleh Penerbit FA-KB di TPK Hutan atau TPK Perhutani.
(2) Penerbitan FA-KB sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dilampiri DKB-FA untuk KB
atau DKBK untuk KBK.
(3) Tatacara pengisian DKB-FA/DKBK, adalah sebagai berikut:
a. Pengisian DKB-FA untuk KB dilakukan dengan memindahkan data identitas KB
yang akan diangkut berupa nomor dan tanggal LHP-KB, nomor batang,
kelompok jenis kayu, ukuran dan volume kayu bulat dari LHP-KB yang telah
disahkan dan telah dibayar lunas PSDH-nya ke dalam DKB-FA.
b. Dalam hal terjadi perubahan fisik KB karena adanya pemotongan batang, maka
penomoran pada fisik kayu mengikuti ketentuan Pasal 6 ayat (6), sehingga
pengisian data pada DKB-FA menyesuaikan penomoran yang baru.
c. Pengisian DKBK untuk KBK dilakukan dengan memindahkan data KBK yang
akan diangkut berupa nomor dan tanggal LHP-KBK, kelompok jenis kayu, dan
volume KBK dari LHP-KBK yang telah disahkan dan telah dibayar lunas PSDH
dan DR-nya ke dalam DKBK.
d. Pengisian DKB-FA/DKBK dilakukan dengan menggunakan mesin ketik atau
tulisan tangan.
e. DKB-FA/DKBK dibuat 5 (lima) rangkap dan mengikuti peruntukan sesuai
dokumen FA-KB.
(4) Penerbitan FA-KB didasarkan atas rekapitulasi data yang tercantum dalam DKBFA/
DKBK.
(5) Pengisian FA-KB dilakukan dengan menggunakan mesin ketik.
(6) Pengangkutan lanjutan bagi KB atau KBK yang berasal dari IUPHHK Tanaman dari
TPK-Antara, tetap menggunakan dokumen FA-KB yang diterbitkan oleh Penerbit FAKB
yang ditetapkan oleh pemilik TPK-Antara.
(7) Penerbitan FA-KB lanjutan sebagaimana dimaksud ayat (6) dilakukan dengan
memindahkan data berupa kelompok jenis kayu dan Volume KB atau KBK dari FA-KB
sebelumnya ke FA-KB lanjutan serta mencantumkan Nomor Seri FA-KB sebelumnya.
Paragraf Kelima
Tata cara Penerbitan FA-HHBK
Pasal 22
(1) Setiap pengangkutan HHBK baik yang berasal dari IPHHBK maupun dari Perum
Perhutani, wajib dilengkapi bersama-sama dengan FA-HHBK yang diterbitkan oleh
Penerbit.
(2) Dalam penerbitan FA-HHBK sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dilampiri DHHBK.
(3) Tatacara pengisian DHHBK, adalah sebagai berikut:
a. Pengisian DHHBK dilakukan dengan memasukkan data berupa nomor dan tanggal
LP-HHBK, jenis HHBK serta jumlah sesuai satuan yang digunakan, sesuai LP-HHBK
yang telah disahkan dan telah dibayar lunas PSDH-nya ke dalam DHHBK dengan
menggunakan blanko model DKA.104d.
b. Pengisian DHHBK dapat dilakukan dengan tulisan tangan;
c. DHHBK dibuat 5 (lima) rangkap dan mengikuti peruntukan sesuai dokumen FAHHBK.
(4) Penerbitan FA-HHBK didasarkan atas rekapitulasi data yang tercantum dalam DHHBK.
(5) Pengisian FA-HHBK dapat dilakukan dengan tulisan tangan.
(6) Untuk pengangkutan HHBK lanjutan, tetap menggunakan dokumen FA-HHBK milik
pemegang izin yang bersangkutan, dengan memindahkan data berupa jenis dan
jumlah HHBK dari FA-HHBK sebelumnya ke dalam FA-HHBK serta dengan
mencantumkan Nomor Seri FA-HHBK sebelumnya.
Paragraf Keenam
Tatacara Penerbitan FA-KO
Pasal 23
(1) Penerbitan FA-KO dilakukan oleh Penerbit FA-KO di industri pengolahan kayu yang
sah dan Tempat Penampungan yang terdaftar.
(2) Penerbitan FA-KO untuk produk KO dari industri milik Perum Perhutani, dilakukan oleh petugas Perum Perhutani.
(3) Sebelum menerbitkan FA-KO atas KO yang akan diangkut, penerbit FA-KO wajib
melakukan pengukuran fisik KO sesuai metode pengukuran yang berlaku.
(4) Hasil pengukuran sebagaimana dimaksud ayat (3) dimasukkan ke dalam Daftar
Pengukuran Kayu Olahan menggunakan blanko model DKB.201d.
(5) Berdasarkan hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penerbit FA-KO
membuat DKO yang merupakan lampiran FA-KO, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Menuangkan hasil pengukuran tersebut kedalam DKO dengan menggunakan
blanko model DKA.104e.
b. Pengisian DKO dilakukan dengan menggunakan mesin ketik;
c. DKO dibuat 5 (lima) rangkap dan mengikuti peruntukan sesuai dokumen FA-KO.
(6) Berdasarkan DKO sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Penerbit FA-KO menerbitkan
FA-KO.
Paragraf Ketujuh
Penggunaan Blanko FA-KB, FA-HHBK, dan FA-KO
Pasal 24
(1) Penerbitan FA-KB untuk pengangkutan KB atau KBK lanjutan dari TPK-Antara,
menggunakan blanko FA-KB milik perusahaan industri yang akan menerima KB yang
bersangkutan.
(2) Penerbitan FA-KB untuk pengangkutan KBK dari hutan alam, menggunakan blanko
FA-KB milik perusahaan pemegang izin yang bersangkutan.
(3) Penerbitan FA-KB untuk pengangkutan KBK dari hutan alam untuk tujuan industri
chip dan atau pulp, menggunakan blanko FA-KB milik perusahaan industri chip dan
atau pulp yang bersangkutan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Direktur
Jenderal.
(4) Penerbitan FA-KB untuk pengangkutan KB atau KBK dari hutan tanaman,
menggunakan blanko FA-KB milik perusahaan pemegang izin yang bersangkutan.
(5) Bagi pengangkutan KB atau KBK yang berasal dari IUPHHK Tanaman dengan tujuan
industri serpih/chips atau industri pulp yang berada di luar wilayah provinsi, maka
penggunaan FA-KB dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan
Direktur Jenderal.
(6) Penerbitan FA-KB untuk pengangkutan KB atau KBK produksi Perum Perhutani,
menggunakan blanko FA-KB milik Perum Perhutani.
(7) Penerbitan FA-HHBK untuk pengangkutan HHBK dari hutan alam, menggunakan
blanko FA-HHBK milik pemegang izin yang bersangkutan.
(8) Penerbitan FA-HHBK untuk pengangkutan HHBK produksi Perum Perhutani,
menggunakan blanko FA-HHBK milik Perum Perhutani.
(9) Penerbitan FA-KO untuk pengangkutan KO dari industri atau tempat penampungan
KO, menggunakan blanko FA-KO milik perusahaan industri atau milik Perusahaan
Penampung Terdaftar.
(10) Perusahaan Penampung Terdaftar sebagaimana dimaksud ayat (9) adalah
perusahaan yang melakukan kegiatan sebagai penampung KO yang telah
mendaftarkan perusahaan dan tempat/lokasi penampungannya kepada Dinas
Kabupaten/Kota dan memperoleh pengakuan sebagai Perusahaan Penampung
Terdaftar.
Paragraf Kedelapan
Pengangkatan Penerbit FA-KB/FA-HHBK/FA-KO
Pasal 25
(1) Penerbit FA-KB di TPK Hutan Alam atau TPK Hutan Tanaman adalah petugas
perusahaan pemegang izin yang ditetapkan oleh Kepala Balai setempat berdasarkan
usulan dari Pimpinan perusahaan.
(2) Penerbit FA-KB untuk pengangkutan lanjutan dari TPK Antara adalah petugas dari
perusahaan pemilik TPK-Antara, yang pengangkatannya ditetapkan oleh Kepala Balai
setempat berdasarkan usulan perusahaan pemilik TPK Antara.
(3) Penerbit FA-HHBK adalah petugas perusahaan pengumpul yang ditetapkan oleh
Kepala Dinas Kabupaten/Kota berdasarkan usulan pimpinan perusahaan pengumpul
yang bersangkutan, sedangkan untuk Perum Perhutani FA-HHBK diterbitkan oleh
Petugas Perum Perhutani yang ditetapkan oleh Kepala Unit.
(4) Penerbit FA-KO adalah petugas industri atau perusahaan penampung terdaftar kayu
olahan yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Provinsi berdasarkan usulan dari pimpinan
perusahaan yang bersangkutan.
(5) Sebagai persyaratan untuk diangkat menjadi Penerbit FA-KB/FA-HHBK/FA-KO,
pimpinan perusahaan wajib mengusulkan nama-nama calon dengan melampirkan :
a. Copy sertifikat dan Kartu Penguji (KP) yang masih berlaku;
b. Lokasi/wilayah kerja penugasan dan specimen tanda tangan;
(6) Keputusan Pengangkatan Penerbit FA-KB/FA-HHBK/FA-KO dengan penetapan nomor
register oleh Kepala Balai untuk masing-masing penerbit dan disampaikan kepada
perusahaan pemilik hasil hutan dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi, Kepala
Dinas Kabupaten/Kota dan penerbit yang bersangkutan.
(7) Pemberian nomor register sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan
cara memberi nomor urut register, kode provinsi, kode kabupaten/kota, Jenis
Dokumen Angkutan, kependekan nama penerbit dan kependekan nama komoditas
hasil hutan, dengan contoh sebagai berikut :
Nomor register Penerbit FA-KB di Provinsi Sumatera Utara : 005/02/0203/FA-KBHsn/
KBK, dengan penjelasan :
005 = Nomor urut register
02 = Kode provinsi Sumatera Utara
0203 = Kode Kabupaten Langkat
FA-KB = Jenis dokumen angkutan
Amr = Kependekan nama penerbit FA-KBK a.n. Amir
KBK = Kependekan nama sortimen Kayu Bulat Kecil.
Bagian Ketiga .....
24
Bagian Ketiga
Ketentuan Penggunaan Dokumen
Paragraf Kesatu
Masa Berlaku dan Peruntukan Dokumen
Pasal 26
(1) Masa berlaku dokumen SKSKB/FA-KB/FA-HHBK/FA-KO ditentukan oleh penerbit
dokumen dengan mempertimbangkan waktu tempuh normal.
(2) Pengisian tanggal mulai berlakunya dokumen SKSKB/FA-KB/FA-HHBK/FA-KO sesuai
dengan tanggal penandatanganan/penerbitan dokumen oleh Penerbit Dokumen.
(3) SKSKB dibuat 7 (tujuh) rangkap, dengan peruntukan sebagai berikut :
a. Lembar ke-1 dan ke-2
Lembar ke-1 dan ke-2 bersama-sama KB yang diangkut. Setelah sampai di
tempat tujuan dan diperiksa oleh P3KB, lembar ke-1 disampaikan ke Dinas
Kabupaten/Kota dan diteruskan Ke Dinas Provinsi setempat. Lembar ke-2 menjadi
arsip penerima KB.
Berdasarkan SKSKB lembar ke-1 dan atau lembar ke-4, Dinas Provinsi selanjutnya
membuat rekapitulasi SKSKB yang masuk dan diterima di wilayah provinsi untuk
diinformasikan kepada Dinas Provinsi asal kayu bulat;
b. Lembar ke-3
Lembar ke-3 untuk Kepala Balai di tempat asal KB; Atas lembar ke-3 yang
diterima, Balai melakukan penelaahan dengan melakukan cek silang dengan
SKSKB lembar ke-7 dan laporan penggunaan SKSKB yang ada di Dinas Provinsi
asal KB. Hasil telaahan selanjutnya dilaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi
bersangkutan dan Direktur Jenderal;
c. Lembar ke-4
Lembar ke-4 untuk Kepala Dinas Provinsi tujuan pengangkutan, dan digunakan
untuk bahan pengecekan dengan lembar ke-1 yang diterima, dan terhadap
SKSKB lembar ke-4 setiap bulan dibuat rekapitulasinya untuk disampaikan kepada
Dinas Provinsi asal KB;
d. Lembar ke-5
untuk arsip P2SKSKB tempat asal KB dan digunakan sebagai dasar pembuatan
laporan penggunaan SKSKB.
e. Lembar ke-6
Lembar ke-6 untuk arsip perusahaan yang menggunakan SKSKB di tempat asal
KB.
f. Lember ke-7
Lembar ke-7 untuk Kepala Dinas Provinsi asal KB, dan digunakan sebagai dasar
untuk cek silang dengan laporan penggunaan/penerbitan SKSKB dari P2SKSKB
dan rekapitulasi penerimaan SKSKB lembar ke-4 yang dibuat oleh Kepala Dinas
Provinsi tujuan pengangkutan KB.
(4) FA-KB.....
25
(4) FA-KB/FA-HHBK/FA-KO dibuat 5 (lima) rangkap, dengan peruntukan sebagai
berikut :
a. Lembar ke-1 dan ke-2 : Bersama-sama hasil hutan yang diangkut;
Lembar ke-1 untuk Kepala Dinas
Kabupaten/Kota tujuan dan lembar ke-2
untuk arsip penerima;
b. Lembar ke-3 : Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota
tempat asal hasil hutan;
c. Lembar ke-4 : Untuk Kepala Balai asal hasil hutan.
d. Lembar ke-5 : Untuk arsip penerbit
Paragraf Kedua
Perpanjangan Masa Berlaku Dokumen Angkutan
Pasal 27
Tata cara perlakuan terhadap dokumen yang telah habis masa berlakunya dalam
perjalanan, diatur sebagai berikut :
a. Dalam hal SKSKB/FA-KB, telah habis masa berlakunya dalam perjalanan, maka
dilakukan sebagai berikut :
1) Untuk SKSKB/FA-KB yang melengkapi pengangkutan KB/KBK di laut, maka
SKSKB/FA-KB yang telah habis masa berlakunya tersebut wajib disertai/dilampiri
dengan Surat Keterangan yang dibuat oleh Nakhoda kapal, yang berisi penjelasan
mengenai sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya keterlambatan
pengangkutan.
2) Perpanjangan masa berlaku dokumen sebagaimana dimaksud pada butir 1)
dilakukan oleh P3KB setelah KB/KBK yang diangkut tersebut tiba di tempat tujuan
pengangkutan.
3) Untuk SKSKB/FA-KB yang melengkapi pengangkutan KB/KBK di darat/sungai atau
terhambat di pelabuhan umum, maka dokumen yang telah habis masa berlakunya
tersebut wajib disertai/dilampiri dengan Surat Keterangan yang dibuat oleh
pengemudi kendaraan/nakhoda kapal, yang berisi penjelasan mengenai sebabsebab
yang mengakibatkan terjadinya keterlambatan pengangkutan.
4) Perpanjangan masa berlaku dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 3)
dilakukan oleh pejabat kehutanan terdekat yang menangani peredaran hasil hutan
yang berada di lokasi setempat berdasarkan permohonan tertulis dari
pengemudi/nakhoda kapal .
5) Dalam pemberian perpanjangan masa berlaku dokumen sebagaimana dimaksud
angka 4) tidak dilakukan pengukuran dan pengujian, tetapi wajib dilakukan
pengecekan keberadaan fisik KB/KBK yang diangkut mengingat sifatnya
administratif.
6) Perpanjangan masa berlaku dokumen dilakukan pada kolom perpanjangan masa
berlaku yang tersedia pada dokumen bersangkutan dengan mengisi jumlah hari
dan tanggal berlakunya perpanjangan serta dengan membubuhi tanda tangan,
nama jelas, jabatan dan Nomor Induk Pegawai (NIP).
7) Perpanjangan masa berlaku dokumen dihitung sejak tanggal penandatanganan.
8) Perpanjangan masa berlaku dokumen SKSKB/FA-KB hanya diberikan 1 (satu) kali
dalam setiap pengangkutan sesuai sisa jarak dan waktu tempuh normal.
b. Dalam hal dokumen FA-HHBK/FA-KO telah habis masa berlakunya dalam perjalanan,
maka tidak perlu dilakukan perpanjangan terhadap dokumen tersebut, dan
pengangkutannya cukup disertai/dilampiri dengan Surat Keterangan yang dibuat oleh
pengemudi kendaraan/nakhoda kapal, yang berisi penjelasan mengenai sebab-sebab
yang mengakibatkan terjadinya keterlambatan pengangkutan.
Bagian Keempat
Perlakuan Dokumen Angkutan Di Tempat Tujuan
Paragraf Kesatu
Tujuan TPK Antara
Pasal 28
Pengangkutan KB atau KBK dengan tujuan TPK Antara, perlakuannya diatur sebagai
berikut :
a. Setiap penerimaan KB atau KBK di TPK Antara wajib dilaporkan kepada P3KB paling
lambat 1 x 24 jam sejak kedatangan, yaitu dengan menyampaikan dokumen
SKSKB/FA-KB lembar ke-1 dan ke-2.
b. P3KB setelah mendapat laporan, paling lambat 1 x 24 jam sejak menerima laporan
segera mematikan dokumen SKSKB/FA-KB lembar ke-1 dan ke-2.
c. Setelah SKSKB/FA-KB dimatikan, P3KB melakukan pemeriksaan Administrasi dan Fisik
KB atau KBK sesuai tata cara pemeriksaan pada lampiran III.
d. Setelah.....
27
d. Setelah dilakukan pemeriksaan administrasi dan fisik, hasilnya dimasukkan ke dalam
Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat atau Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat Kecil dengan
menggunakan blanko model DKB.201a atau model DKB.201b dan dibuatkan Berita
Acara Pemeriksaan Penerimaan Kayu Bulat dengan menggunakan blanko model
DKB.201k, dan segera menandatangani SKSKB/FA-KB pada kolom yang tersedia.
e. Apabila berdasarkan BAP ditemukan adanya perbedaan antara fisik dan dokumen,
P3KB wajib melaporkan kepada atasan langsungnya untuk ditindaklanjuti.
f. P3KB wajib mengumpulkan SKSKB/FA-KB lembar ke-1 dan membuat Daftar
Penerimaan Dokumen SKSKB lembar ke-1 di Tempat Tujuan, dengan menggunakan
blanko model DKB.203e, sedangkan terhadap FA-KB yang masuk dicatat dan
dimasukkan ke dalam Rekapitulasi Penerimaan Dokumen FA-KB/FA-HHBK/FA-KO
lembar ke-1 di Tempat Tujuan menggunakan blanko model DKB.203f.
g. SKSKB lembar ke-2 berikut DKB, atau FA-KB lembar ke-2 berikut DKB-FA yang telah
dimatikan dan ditanda tangani oleh P3KB, diserahkan kembali kepada pemilik kayu
bulat di tempat tujuan dan disimpan sebagai arsip;
h. Kumpulan SKSKB/FA-KB lembar ke-1 (asli) berikut Berita Acara Pemeriksaan dan
daftar sebagaimana dimaksud dalam huruf f dan rekapitulasi penerimaan FA-KB pada
setiap pertengahan dan akhir bulan wajib disampaikan kepada Kepala Dinas
Kabupaten/Kota dan untuk selanjutnya pada akhir bulan yang sama disampaikan
kepada Kepala Dinas Provinsi.
Paragraf Kedua
Tujuan Industri
Pasal 29
Pengangkutan KB atau KBK dengan tujuan Industri Primer/Terpadu, perlakuannya diatur
sebagai berikut :
a. Setiap penerimaan KB atau KBK di industri wajib dilaporkan kepada P3KB paling
lambat 24 jam sejak kedatangan, yaitu dengan menyampaikan dokumen SKSKB/FA-KB
lembar ke-1 dan ke-2.
b. P3KB setelah mendapat laporan, paling lambat 24 jam sejak menerima laporan segera
mematikan dokumen tersebut.
c. Setelah SKSKB/FA-KB dimatikan, P3KB melakukan pemeriksaan Administrasi dan Fisik
KB atau KBK sesuai tata cara pemeriksaan pada lampiran III.
d. Setelah dilakukan pemeriksaan administrasi dan fisik, hasilnya dimasukkan ke dalam Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat atau Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat Kecil dengan
menggunakan blanko model DKB.201a atau model DKB.201b dan dibuatkan Berita
Acara Pemeriksaan Penerimaan Kayu Bulat dengan mengunakan blanko model
DKB.201k, dan segera menandatangani SKSKB/FA-KB pada kolom yang tersedia.
e. Apabila berdasarkan BAP ditemukan adanya perbedaan antara fisik dan dokumen,
P3KB wajib melaporkan kepada atasan langsungnya untuk ditindaklanjuti.
f. P3KB wajib mengumpulkan SKSKB/FA-KB lembar ke-1 dan membuat Daftar
Penerimaan Dokumen SKSKB lembar ke-1 di Tempat Tujuan, dengan menggunakan
blanko model DKB.203e, sedangkan terhadap FA-KB yang masuk dicatat ke dalam
Rekapitulasi Penerimaan Dokumen FA-KB/FA-HHBK/FA-KO lembar ke-1 di Tempat
Tujuan menggunakan blanko model DKB.203f.
g. SKSKB lembar ke-2 berikut DKB, atau FA-KB lembar ke-2 berikut DKB-FA yang telah
dimatikan dan ditanda tangani oleh P3KB, diserahkan kembali kepada pemilik KB di
tempat tujuan dan disimpan sebagai arsip.
h. Kumpulan SKSKB/FA-KB lembar ke-1 (asli) berikut Berita Acara Pemeriksaan dan
daftar sebagaimana dimaksud dalam huruf f dan rekapitulasi penerimaan FA-KB pada
setiap pertengahan dan akhir bulan wajib disampaikan kepada Kepala Dinas
Kabupaten/Kota dan untuk selanjutnya pada akhir bulan yang sama disampaikan
kepada Kepala Dinas Provinsi.
Bagian Kelima
Pembuatan Laporan Mutasi Hasil Hutan
Paragraf Kesatu
Pembuatan LMKB, LMKBK dan LMHHBK Di TPK Hutan
Pasal 30
(1) Di Setiap TPK di dalam areal IUPHHK dan IPK, wajib dibuat Laporan Mutasi Kayu
Bulat (LMKB) blanko model DKA.105a dan atau Laporan Mutasi Kayu Bulat Kecil
(LMKBK) blanko model DKA.105b oleh petugas perusahaan.
(2) Tata cara pengisian LMKB dan atau LMKBK sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur
sebagai berikut :
a. Pengisian bagian Persediaan Awal didasarkan jumlah stock KB/KBK pada bulan
sebelumnya dan telah dibayar lunas PSDH dan atau DR;
b. Pengisian bagian Penambahan didasarkan pada setiap jumlah KB/KBK dalam LHPKB/
LHP-KBK yang telah disahkan dan dibayar lunas PSDH dan atau DR setiap
bulan;
c. Pengisian bagian Pengurangan didasarkan pada setiap penerbitan SKSKB/FA-KB
atas pengangkutan KB/KBK dari TPK yang bersangkutan ke luar areal izin;
d. Bagian Persediaan Akhir diisi berdasarkan Persediaan Awal ditambah Penambahan
dikurangi Pengurangan;
e. Pada kolom Keterangan dicantumkan hal-hal yang perlu diinformasikan seperti
nomor LHP-KB/LHP-KBK pada bagian Penambahan dan tujuan pengangkutan
dalam SKSKB/FA-KB pada bagian pengurangan;
(3) Pada tempat pengumpulan HHBK, wajib dibuat Laporan Mutasi Hasil Hutan Bukan
Kayu (LMHHBK) dengan menggunakan blanko model DKA.105c.
(4) Tata cara pengisian LMHHBK sebagaimana dimaksud ayat (3) diatur sebagai berikut :
a. Pengisian kolom Persediaan Awal didasarkan atas Persediaan HHBK Akhir bulan
sebelumnya;
b. Pengisian kolom Penambahan didasarkan atas setiap HHBK yang diproduksi sesuai
LP-HHBK yang telah disahkan dan telah dibayar lunas PSDH selama 1 (satu) bulan;
c. Pengisian kolom Pengurangan didasarkan pada realisasi pengangkutan HHBK
sesuai FA-HHBK yang diterbitkan selama 1 (satu) bulan;
d. Persediaan Akhir merupakan Persediaan Awal ditambah Penambahan dikurangi
Pengurangan pada bulan yang bersangkutan;
e. Apabila terjadi perubahan sisa persediaan karena hilang/tenggelam dan lain-lain
hal selama dalam satu bulan, maka wajib dibuatkan berita acara yang diketahui
oleh P2LP-HHBK.
f. Pada kolom Keterangan dicantumkan hal-hal lain yang perlu diinformasikan;
(5) LMKB untuk KB pada IUPHHK Alam, dibuat 4 (empat) rangkap dengan peruntukan
sebagai berikut :
a. Lembar kesatu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
b. Lembar kedua untuk P2SKSKB;
c. Lembar ketiga untuk Balai setempat; dan
d. Lembar keempat untuk arsip pemegang izin.
(6) LMKB untuk KB pada IUPHHK Tanaman, dibuat 4 (empat) rangkap dengan
peruntukan sebagai berikut :
a. Lembar kesatu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
b. Lembar kedua untuk P2LHP;
c. Lembar ketiga untuk Balai setempat; dan
d. Lembar keempat untuk arsip pemegang izin.
(7) LMKBK untuk KBK pada IPK atau IUPHHK Tanaman, dibuat 4 (empat) rangkap
dengan peruntukan sebagai berikut :
a. Lembar kesatu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
b. Lembar kedua untuk P2LHP-KBK;
c. Lembar ketiga untuk Balai setempat; dan
d. Lembar keempat untuk arsip pemegang izin.
(8) LMHHBK, dibuat 4 (empat) rangkap dengan peruntukan sebagai berikut :
a. Lembar kesatu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
b. Lembar kedua untuk P2LP-HHBK;
c. Lembar ketiga untuk Balai setempat; dan
d. Lembar keempat untuk arsip pemegang izin.
(9) LMKB, LMKBK dan LMHHBK sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5), (6), (7) dan
(8), harus sesuai dengan fisik baik jenis, jumlah, maupun volume.
Paragraf Kedua
Pembuatan LMKB dan LMKBK Di TPK Antara
Pasal 31
(1) Di setiap TPK Antara, wajib dibuat LMKB dan atau LMKBK.
(2) Tata cara pengisian LMKB/LMKBK di TPK Antara diatur sebagai berikut :
a. Pengisian bagian Persediaan Awal didasarkan jumlah stock KB/KBK pada bulan
sebelumnya;
b. Pengisian bagian Penambahan didasarkan pada setiap SKSKB/FA-KB atas
pengangkutan KB/KBK yang masuk TPK Antara setiap bulan;
c. Pengisian bagian Pengurangan didasarkan pada setiap penerbitan FA-KB untuk
pengangkutan KB dari TPK Antara yang bersangkutan;
d. Bagian Persediaan Akhir diisi berdasarkan Persediaan Awal ditambah Penambahan
dikurangi Pengurangan;
e. Pada kolom Keterangan dicantumkan hal-hal yang perlu diinformasikan seperti
asal SKSKB/FA-KB pada bagian Penambahan dan tujuan FA-KB pada bagian
pengurangan;
(3) LMKB/LMKBK dibuat 4 (empat) rangkap dengan peruntukan sebagai berikut :
a. Lembar kesatu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
b. Lembar kedua untuk P3KB;
c. Lembar ketiga untuk Balai setempat; dan
d. Lembar keempat untuk arsip pemilik TPK Antara.
(4) LMKB/LMKBK sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan fisik.
baik jenis, jumlah, maupun volume.
Paragraf Ketiga
Pembuatan LMKB, LMKBK, LMHHBK, LMKO
dan LMHHOBK di Industri dan Tempat Penampungan Terdaftar
Pasal 32
(1) Pemegang izin industri primer hasil hutan kayu dan industri terpadu setiap bulan
wajib membuat LMKB atau LMKBK dengan menggunakan blanko model
DKA.105a/DKA.105b dan Laporan Mutasi Kayu Olahan (LMKO) blanko model
DKA.105d.
(2) Pemegang izin industri primer hasil hutan bukan kayu, setiap bulan wajib membuat
LMHHBK dengan menggunakan blanko model DKA. 105c dan wajib membuat Laporan
Mutasi Hasil Hutan Olahan Bukan Kayu (LMHHOBK) dengan menggunakan blanko
model DK.A.105e.
(3) Perusahaan Penampung Terdaftar yang menampung KO setiap bulan wajib membuat
Laporan Mutasi Kayu Olahan (LMKO) blanko model DKA.105d.
(4) Tata cara pengisian LMKB/LMKBK di industri diatur sebagai berikut :
a. Pengisian bagian Persediaan Awal didasarkan pada stock persediaan KB/KBK bulan
sebelumnya.
b. Pengisian bagian Penambahan didasarkan pada setiap SKSKB/FA-KB yang masuk
industri setiap bulan;
c. Pengisian bagian Pengurangan didasarkan pada rekapitulasi pengolahan dan atau
penggunaan lain KB/KBK setiap bulan;
d. Bagian Persediaan Akhir diisi berdasarkan Persediaan Awal ditambah Penambahan
dikurangi Pengurangan;
e. Apabila terjadi perubahan sisa persediaan karena hilang/tenggelam dan lain-lain
hal selama dalam satu bulan, maka wajib dibuatkan berita acara yang diketahui
oleh P3KB setempat dan diperhitungkan pada kolom Persediaan Akhir;
f. Pada kolom Keterangan dicantumkan hal-hal yang perlu diinformasikan termasuk
besarnya rendemen pada baris pengurangan dan asal SKSKB/FA-KB pada bagian
Penambahan;
(5) Tata cara pengisian LMKBK di industri pulp/chip/arang diatur sebagai berikut :
a. Pengisian bagian Persediaan Awal didasarkan atas Persediaan Akhir bulan
sebelumnya;
b. Pengisian bagian Penambahan didasarkan atas rekapitulasi harian hasil
pengukuran KBK yang masuk ke industri pulp/chip/arang, untuk kurun waktu 1
(satu) bulan dengan mencantumkan nomor-nomor FA-KB-nya;
c. Pengisian bagian Pengurangan didasarkan pada jumlah KBK yang diolah selama 1
(satu) bulan;
d. Bagian Persediaan Akhir diisi berdasarkan Persediaan Awal ditambah Penambahan
dikurangi Pengurangan;
e. Apabila terjadi perubahan sisa persediaan karena hilang/tenggelam dan lain-lain,
maka wajib dibuatkan berita acara yang diketahui oleh P3KB;
f. Pada kolom Keterangan dicantumkan hal-hal yang perlu diinformasikan seperti
misalnya tujuan pengangkutan pada bagian pengurangan tersebut pada huruf c.
(6) LMKBK sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan jenis, jumlah
dan volume/berat fisik kayu.
(7) Tata cara pengisian LMHHBK di industri primer HHBK diatur sebagai berikut :
a. Pengisian kolom Persediaan Awal didasarkan atas Persediaan Akhir bulan
sebelumnya;
b. Pengisian kolom Penambahan didasarkan atas setiap FA-HHBK yang masuk ke
industri selama 1 (satu) bulan;
c. Pengisian kolom Pengurangan didasarkan pada rekapitulasi pengolahan HHBK dan
atau penggunaan lain selama 1 (satu) bulan;
d. Persediaan Akhir merupakan Persediaan Awal ditambah Penambahan dikurangi
Pengurangan pada bulan yang bersangkutan;
e. Pada .....
32
e. Pada kolom Keterangan dicantumkan hal-hal lain yang perlu diinformasikan
misalnya asal pengangkutan HHBK dalam setiap FA-HHBK yang masuk industri
sesuai kolom Penambahan tersebut pada huruf b;
(8) Tata cara pengisian LMKO diatur sebagai berikut :
a. Pengisian dalam kolom Persediaan Awal didasarkan atas persediaan akhir bulan
sebelumnya;
b. Kolom Perolehan, diisi perolehan yang merupakan produksi KO sesuai jenis
komoditasnya, satuan dan volume/berat;
c. Kolom Pengurangan, diisi penggunaan terhadap produk KO tersebut, baik
penggunaan sendiri maupun pemasaran dalam dan luar negeri yang dirinci
menurut jenis komoditasnya, satuan dan volume/berat masing-masing;
d. Kolom Persediaan Akhir, diisi berdasarkan hasil penghitungan persediaan awal
ditambah perolehan dalam bulan berjalan dikurangi dengan realisasi
penggunaan/penjualan;
e. Kolom Keterangan diisi hal-hal yang perlu diinformasikan, misalnya tujuan
pengiriman pada kolom Pengurangan;
(9) Tata cara pengisian LMHHOBK diatur sebagai berikut:
a. Pengisian dalam kolom Persediaan Awal didasarkan atas persediaan akhir bulan
sebelumnya;
b. Kolom Perolehan, diisi perolehan yang merupakan produksi HHOBK sesuai jenis
komoditasnya, satuan dan volume/berat;
c. Kolom Pengurangan, diisi penggunaan terhadap produk HHOBK tersebut, baik
penggunaan sendiri maupun pemasaran dalam dan luar negeri yang dirinci
menurut jenis komoditasnya, satuan dan volume/berat masing-masing;
d. Kolom Persediaan Akhir, diisi berdasarkan hasil penghitungan persediaan awal
ditambah perolehan dalam bulan berjalan dikurangi dengan realisasi
penggunaan/penjualan;
e. Kolom Keterangan diisi hal-hal yang perlu diinformasikan, misalnya tujuan
pengiriman pada kolom Pengurangan.
(10) LMKB, LMKBK, LMHHBK, LMKO dan LMHHOBK dibuat dalam rangkap 4 (empat)
dengan peruntukan sebagai berikut :
a. Lembar kesatu untuk Dinas Kabupaten/Kota;
b. Lembar kedua untuk Dinas Provinsi;
c. Lembar ketiga untuk Balai; dan
d. Lembar ketiga untuk arsip pemegang izin usaha industri.
(11) Pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengirim LMKB,
LMHHBK, LMKO dan atau LMHHOBK lembar kesatu dan kedua selambat-lambatnya
setiap tanggal 5 bulan berikutnya.
Bagian Keenam
Penatausahan Hasil Hutan di Industri Lanjutan
Pasal 33
(1) FA-KO yang diterima di TPK industri lanjutan, diperlakukan dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. FA-KO lembar ke-1 disampaikan kepada Petugas Perusahaan Penerima Kayu
Olahan;
b. Setelah dokumen FA-KO diterima, petugas perusahaan menandatangani FA-KO
pada kolom yang tersedia dan membuat Berita Acara Serah Terima.
c. Perusahaan industri wajib mengumpulkan FA-KO lembar ke-1 dan membuat buku
register penerimaan FA-KO lembar ke-1 dan selanjutnya dibuat Rekapitulasi
Penerimaan Dokumen FA-KB/FA-HHBK/FA-KO Lembar Ke-1 di Tempat Tujuan,
dengan menggunakan blanko model DKB.203f dan disampaikan kepada Dinas
Kabupaten/Kota.
d. FA-KO lembar ke-2 berikut DKO yang telah diterima dan ditanda tangani oleh
Petugas Perusahaan, disimpan sebagai arsip;
(2) Pemegang izin industri lanjutan menyampaikan laporan bulanan realisasi pemasaran
kayu olahan kepada Dinas Kehutanan Provinsi setempat.
(3) Pemegang izin industri lanjutan, setiap bulan wajib membuat LMKO, dengan
menggunakan blanko model DKA. 105d.
(4) Tata cara pembuatan dan peruntukan LMKO sebagaimana dimaksud ayat (3)
mengikuti ketentuan pada pasal 32.
Bagian Ketujuh
Penatausahaan Hasil Hutan di Pelabuhan Umum
Pasal 34
(1) Di setiap pelabuhan umum yang ada aktivitas keluar masuknya KB/KBK, wajib
ditempatkan P3KB.
(2) P3KB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas mematikan dokumen
SKSKB/FA-KB lembar ke-1 dan ke-2 di pelabuhan umum atau tujuan lain pada saat
KB/KBK transit dan atau dibongkar.
(3) KB/KBK yang telah sampai di pelabuhan umum wajib dilaporkan kepada P3KB
selambat-lambatnya 1 x 24 jam sejak kedatangan dan terhadap SKSKB/FA-KB atas
KB/KBK tersebut oleh P3KB di terakan cap “TELAH DIMATIKAN”.
(4) Bagi pengangkutan KB/KBK dengan tujuan pengangkutan pelabuhan umum, setelah
dokumen SKSKB/FA-KB dimatikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka
segera dilakukan pemeriksaan kebenaran isi dokumen dengan fisik KB/KBK, dengan
tata cara pemeriksaan sebagaimana diatur pada lampiran III, dan SKSHH/FA-KB
lembar ke-2 yang telah dimatikan dikembalikan kepada pemilik KB/KBK.
(5) Apabila .....
34
(5) Apabila dari hasil pemeriksaan fisik KB/KBK tidak sesuai dengan SKSKB/FA-KB, baik
kelompok jenis dan atau jumlah batang dan atau ukuran diameter/panjang atau
volume di atas toleransi yang ditetapkan, maka P3KB segera membuat Berita Acara
Pemeriksaan untuk diproses sesuai ketentuan yang berlaku.
(6) P3KB wajib mengumpulkan SKSKB/FA-KB lembar ke-1 dan membuat Daftar
Penerimaan Dokumen SKSKB lembar ke-1 di Tempat Tujuan, dengan menggunakan
blanko model DKB.203e, sedangkan terhadap FA-KB yang masuk dicatat dan
dimasukkan ke dalam Rekapitulasi Penerimaan Dokumen FA-KB/FA-HHBK/FA-KO
lembar ke-1 di Tempat Tujuan menggunakan blanko model DKB.203f.
(7) SKSKB lembar ke-2 berikut DKB, atau FA-KB lembar ke-2 berikut DKB-FA/DKBK yang
telah dimatikan dan ditanda tangani oleh P3KB, diserahkan kembali kepada pemilik
KB/KBK di tempat tujuan dan disimpan sebagai arsip;
(8) Kumpulan SKSKB/FA-KB lembar ke-1 (asli) berikut Berita Acara Pemeriksaan dan
daftar sebagaimana dimaksud dalam huruf f dan rekapitulasi penerimaan FA-KB pada
setiap pertengahan dan akhir bulan wajib disampaikan kepada Kepala Dinas
Kabupaten/Kota dan untuk selanjutnya pada akhir bulan yang sama disampaikan
kepada Kepala Dinas Provinsi.
(9) Pengangkutan KB/KBK dengan dokumen SKSKB/FA-KB dengan tujuan tertentu yang
mengalami transit di Pelabuhan Umum dan mengalami perubahan alat angkut, maka
angkutan lanjutan dari pelabuhan umum ke tujuan tersebut wajib disertai bersamasama
dengan FA-KB yang merupakan lanjutan dan bagian dari dokumen SKSKB/FAKB
tersebut.
(10) FA-KB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) adalah FA-KB yang diterbitkan oleh
Penerbit FA-KB dengan memberikan cap “ANGKUTAN LANJUTAN”.
(11) Penerbit FA-KB sebagaimana dimaksud pada ayat (10), adalah petugas perusahaan
pemilik/pemegang kuasa atas kepemilikan KB/KBK tersebut yang ditetapkan oleh
Kepala Dinas Provinsi berdasarkan usulan dari Pimpinan perusahaan.
(12) Tata cara penerbitan FA-KB angkutan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(10), diatur sebagai berikut :
a. Penerbitan FA-KB lanjutan dilakukan dengan menggunakan blanko FA-KB model
DKA.301 dan pengisiannya dengan menggunakan mesin ketik;
b. FA-KB lanjutan hanya dapat diterbitkan untuk mengangkut KB/KBK sesuai dengan
tujuan yang tercantum dalam SKSKB/FA-KB sebelumnya;
c. FA-KB lanjutan diterbitkan secara berurutan terhadap satu partai hasil hutan dari
SKSKB/FA-KB sebelumnya;
d. FA-KB lanjutan yang diterima di tujuan sesuai yang tercantum dalam SKSKB/FAKB
sebelumnya, wajib dilaporkan kepada P3KB untuk dimatikan dengan memberi
cap “TELAH DIMATIKAN”.
e. Setelah dokumen FA-KB dimatikan, P3KB segera melakukan pemeriksaan sesuai
tata cara pemeriksaan sebagaimana diatur pada lampiran III;
f. Setelah .....
35
f. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap kebenaran dokumen dan fisik,
SKSKB/FA-KB lembar ke-1 dan ke-2 dan FA-KB lanjutan wajib ditanda tangani
oleh P3KB pada kolom yang tersedia;
g. Penerbit FA-KB wajib membuat Buku Register kedatangan/ penerimaan hasil
hutan per alat angkut dalam setiap pengangkutan, dengan menyebutkan nama
alat angkut, nomor seri SKSKB/FA-KB, asal hasil hutan, volume/jenis dan tujuan
pengangkutan;
Pasal 35
(1) Bagi pengangkutan KB/KBK yang menggunakan alat angkut darat dan tidak
mengalami penggantian alat angkut di pelabuhan penyeberangan/ferry maupun
pelabuhan umum, maka tidak perlu diterbitkan SKSKB/FA-KB baru,
(2) Bagi pengangkutan KO yang menggunakan alat angkut darat dan tidak mengalami
penggantian alat angkut di pelabuhan penyeberangan/ferry maupun pelabuhan
umum, maka tidak perlu diterbitkan FA-KO baru, termasuk pengangkutan yang
menggunakan peti kemas sepanjang tidak mengalami pembongkaran walaupun
terjadi penggantian alat angkut.
(3) SKSKB/FA-KB/FA-KO sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tetap berlaku
sampai dengan tempat tujuan dan wajib dilaporkan kepada P3KB atau petugas
kehutanan terdekat untuk diketahui.
Bagian Kedelapan
Penatausahaan Hasil Hutan Lelang
Pasal 36
Pengangkutan KB/KBK/KO/HHBK hasil lelang baik sekaligus maupun bertahap, wajib
disertai dokumen angkutan berupa Surat Angkutan Lelang yang diterbitkan oleh Kepala
Dinas Kabupaten/Kota berdasarkan risalah lelang sesuai jumlah kayu lelang yang akan
diangkut.
Bagian Kesembilan
Penatausahaan Hasil Hutan Untuk Ekspor dan Impor
Pasal 37
(1) Dalam pelaksanaan ekspor hasil hutan olahan melalui pelabuhan umum,
pengangkutan menuju pelabuhan wajib dilengkapi dengan dokumen (FA-KO atau
Nota Perusahaan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) FA-KO atau Nota Perusahaan sebagaimana disebut pada ayat (1) digunakan sebagai
dasar pengisian Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
(3) FA-KO/Nota Perusahaan lembar ke-1 dan lembar ke-2, oleh perusahaan eksportir
wajib diserahkan kepada petugas Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat untuk
diterbitkan PEB dan selanjutnya untuk setiap akhir bulan, perusahaan eksportir
bersangkutan wajib menyerahkan lembar ke-1 FA-KO/Nota Perusahaan kepada Dinas
Provinsi atau Dinas Kabupaten/Kota dimana Kantor Pelayanan Bea dan Cukai berada
dan lembar ke-2 diserahkan kepada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai sebagai bukti
hasil hutan yang diekspor adalah sah .
(4) Semua badan usaha atau perorangan yang melaksanakan ekspor hasil hutan, setiap
bulan wajib melaporkan realisasi ekspor kepada Dinas Kabupaten/Kota dengan
tembusan Direktur Jenderal dan Kepala Dinas Provinsi selambat-lambatnya tanggal 5
bulan berikutnya.
Pasal 38
(1) Setiap Badan Usaha atau perorangan yang melakukan impor KB/KO wajib
melaporkan kepada P3KB di pelabuhan dengan dilengkapi dokumen-dokumen impor
berupa manifest atau B/L untuk diketahui.
(2) Dalam hal kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilakukan pengangkutan
secara bertahap atau sekaligus dari pelabuhan umum ke industri pengolahan kayu,
maka pengangkutannya dilengkapi dengan Nota Perusahaan yang diterbitkan oleh
pemilik kayu dengan dilampiri copy dokumen impornya.
BAB V
P2LHP, P2LP-HHBK, P2SKSKB DAN P3KB
Bagian Kesatu
Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan
Pasal 39
(1) Persyaratan umum untuk diangkat sebagai P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB dan P3KB
adalah sebagai berikut :
a. Pegawai Kehutanan pada Dinas Kabupaten/Kota atau Provinsi setempat.
b. Memiliki sertifikat Pengawas Penguji Hasil Hutan (PPHH)
c. Berkualifikasi Pengawas Penguji Hasil Hutan dan memiliki Kartu Pengawas
Penguji Hasil Hutan sesuai dengan komoditas hasil hutan yang masih berlaku dari
Kepala Balai atas nama Direktur Jenderal.
d. Memiliki dedikasi tinggi, berkelakuan baik, jujur dan bertanggung jawab.
(2) Tata cara pengangkatan P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB, dan P3KB adalah sebagai
berikut :
a. Kepala Dinas Provinsi menyampaikan surat pemberitahuan kepada Kepala Balai
setempat mengenai rencana pengangkatan P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB dan
atau P3KB berdasarkan hasil koordinasi dengan Dinas Kabupaten/Kota di wilayah
kerjanya.
b. Berdasarkan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud huruf a, Kepala Balai
membuat pertimbangan teknis berupa daftar nama-nama personil yang
berdasarkan penilaian Balai layak untuk diangkat sebagai P2LHP/P2LP-HHBK,
P2SKSKB dan atau P3KB, dan disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi yang
bersangkutan.
c. Berdasarkan daftar sebagaimana dimaksud pada huruf b, selanjutnya Kepala
Dinas Provinsi menetapkan personil P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB, dan atau P3KB
dengan Keputusan.
d. Keputusan sebagaimana dimaksud huruf c, antara lain memuat nama, jabatan,
pangkat, alamat dan wilayah kerja di mana pejabat tersebut diangkat (setiap
personil hanya diperkenankan memiliki satu jabatan tersebut), serta specimen
tanda tangan masing-masing pejabat yang bersangkutan.
e. Masing-masing P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB, dan P3KB wajib diberi nomor
register oleh Kepala Dinas Provinsi;
(3) Salinan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c disampaikan
kepada Direktur Jenderal dan Kepala Balai, sedangkan khusus untuk penetapan
P2SKSKB, salinan Keputusannya disampaikan juga kepada Kepala Dinas Provinsi
seluruh Indonesia.
(4) Dinas Provinsi seluruh Indonesia setelah menerima salinan Keputusan Pengangkatan
P2SKSKB sebagaimana dimaksud ayat (3), wajib menyampaikan kepada Kepala
Dinas Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi bersangkutan.
(5) Dinas Kabupaten/Kota setelah menerima salinan keputusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), wajib meneruskan kepada seluruh P3KB yang ada di wilayah kerja
kabupaten/kota yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Tugas dan Tanggung Jawab
Paragraf Kesatu
P2LHP, P2LP-HHBK
Pasal 40
(1) Tugas P2LHP/P2LP-HHBK melakukan pemeriksaan administrasi pembuatan LHPKB/
LHP-KBK/LPHHBK dan pemeriksaan fisik KB/HHBK sebagaimana diatur dalam
lampiran III.
(2) P2LHP/P2LP-HHBK mengesahkan LHP-KB/LHP-KBK/LPHHBK setelah melakukan
pemeriksaan administrasi dan fisik dan hasilnya dinyatakan benar.
(3) P2LHP/P2LP-HHBK bertangggung jawab terhadap kebenaran administrasi dan fisik
dari LHP-KB/LHP-KBK/LP-HHBK yang disahkannya.
Paragraf Kedua
P2SKSKB
Pasal 41
(1) Tugas P2SKSKB adalah melakukan pemeriksaan administrasi terhadap DKB yang
diajukan perusahaan dan melakukan pemeriksaan fisik atas KB yang akan diangkut
sebagaimana diatur dalam lampiran III.
(2) P2SKSKB mengesahkan DKB dan menerbitkan SKSKB, apabila hasil pemeriksaan fisik
dinyatakan benar.
(3) P2SKSKB bertangggung jawab terhadap kebenaran administrasi dan fisik dari DKB
yang disahkannya dan SKSKB yang diterbitkannya.
Paragraf Ketiga
P3KB
Pasal 42
(1) P3KB mematikan semua SKSKB/FA-KB atas KB/KBK yang masuk di tempat tujuan di
wilayah kerjanya.
(2) Perusahaan tujuan setelah menerima KB/KBK paling lambat 1 x 24 jam melaporkan
kepada P3KB setempat, selanjutnya P3KB mematikan SKSKB/FA-KB dilanjutkan
pemeriksaan administrasi dan fisik sesuai tata cara sebagaimana dimaksud dalam
lampiran III.
(3) Dalam hal perusahaan tujuan tidak menerima/menolak KB/KBK yang telah sampai di
tempat tujuan, P3KB tetap mematikan SKSKB/FA-KB dan melaporkan kepada Kepala
Dinas Kabupaten/Kota.
(4) P3KB, secara aktif memantau KB/KBK yang masuk/tiba di lokasi TPK Antara/Industri
pada wilayah kerja masing-masing.
(5) Dalam hal terdapat indikasi pelanggaran dalam pengangkutan KB, P3KB dapat
melakukan pemeriksaan fisik KB secara keseluruhan (100%).
Bagian Ketiga
Tata Cara Pemberhentian P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB, atau P3KB
Pasal 43
(1) P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB atau P3KB berhenti karena :
a. Berhenti sebagai Pegawai Kehutanan karena mengundurkan diri atau
diberhentikan; dan berhenti sebagai pegawai perusahaan;
b. Pindah tugas ke tempat lain atau pindah ke tugas bidang lain;
c. Melakukan pelanggaran.
(2) Pemberhentian sebagai P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB, atau P3KB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b , dilakukan oleh Kepala Dinas Provinsi atas
usulan Kepala Dinas Kabupaten/Kota, dengan dilampiri :
a. Copy keputusan pemberhentian sebagai Pegawai Kehutanan/Pegawai
Perusahaan; atau
b. Copy keputusan pindah tugas ketempat lain sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf b.
(3) Kepala Dinas Provinsi dalam menetapkan Keputusan pemberhentian P2SKSKB
salinannya disampaikan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Provinsi di seluruh
Indonesia, Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan Kepala Balai setempat.
Pasal 44
(1) Pemberhentian sebagai P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB, atau P3KB karena melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 46 ayat (1) huruf c, karena :
f. P2LHP/P2LP-HHBK mengesahkan LHP-KB/LHP-KBK/LPHHBK fiktif; atau
mengesahkan LHP-KB/LHP-KBK/LPHHBK tidak sesuai dengan fisik hasil hutan;
mengesahkan LHP-KB/LHP-KBK/LPHHBK yang periode sebelumnya belum dibayar
lunas PSDH dan atau DR; mengesahkan LHP-KB/LHP-KBK/LPHHBK tanpa
dilakukan pemeriksaan fisik sesuai ketentuan yang berlaku atau melakukan
manipulasi terhadap hasil pemeriksaan administrasi dan atau fisik atau tidak
membuat/mengisi buku register.
g. P2SKSKB menerbitkan dokumen SKSKB susulan; atau menerbitkan SKSKB dalam
keadaan kosong; atau mengisi lembar ke-1 dan ke-2 berbeda dengan isi lembar
ke-3 dan seterusnya; atau menerbitkan SKSKB atas KB yang belum disahkan
P2LHP atau atas KB yang sudah disahkan LHP-KB-nya namun belum dibayar
lunas PSDH dan atau DR; atau menghilangkan blanko SKSKB dengan sengaja;
h. P2SKSKB melakukan manipulasi dalam penerbitan SKSKB terhadap asal KB yang
tidak jelas sumbernya.
i. P3KB meloloskan penerimaan KB tanpa dokumen; atau tidak membuat buku
register; atau dengan sengaja menghilangkan dokumen SKSKB asli lembar ke-1
atau ke-2.
(2) Pemberhentian P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB, atau P3KB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Dinas Provinsi berdasarkan hasil pemeriksaan
yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa.
(3) Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk oleh Kepala Dinas
Provinsi atau Departemen Kehutanan.
(4) Khusus terhadap pelanggaran berupa tidak membuat/mengisi buku register, sebelum
dikenakan sanksi pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB, atau P3KB tersebut diberikan peringatan pelanggaran
sebanyak 3 (tiga) kali.
(5) Apabila P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB, atau P3KB setelah diberikan peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) masih melakukan perbuatan pelanggaran yang
sama, Kepala Dinas Provinsi menetapkan pemberhentian pegawai yang
bersangkutan dan disampaikan kepada Kepala Balai setempat.
(6) Berdasarkan salinan Keputusan pemberhentian P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB, atau
P3KB sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Balai atas nama Direktur
Jenderal segera mencabut Kartu PPHH yang bersangkutan dan menerbitkan
pemberhentian sebagai PPHH.
(7) Pelanggaran yang dilakukan oleh P2LHP/P2LP-HHBK, P2SKSKB, atau P3KB selain
dikenakan sanksi pemberhentian sebagai P2LHP/P2LPHHBK, P2SKSKB, atau P3KB
dapat juga dikenakan sanksi lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sesuai dengan tingkat pelanggarannya.
BAB VI
PEMBAKUAN, KODEFIKASI DAN PENGADAAN BLANKO
Bagian Kesatu
Model dan Jenis Blanko
Pasal 45
(1) Blanko Penatausahaan Hasil Hutan terdiri dari 2 (dua) model, yaitu model DKA dan
DKB. (DK merupakan singkatan dari Departemen Kehutanan).
(2) Model blanko DKA adalah blanko yang ditetapkan oleh Departemen dan
dicetak/dibuat pihak ketiga/pemegang izin, terdiri dari :
a. Laporan Hasil Cruising (LHC Hutan Alam/Tegakan Hutan Tanaman);
b. Buku Ukur Kayu (Buku Ukur KB/KBK);
c. Laporan Produksi Hasil Hutan (LHP-KB, LHP-KBK, LP-HHBK);
d. Daftar Hasil Hutan (DKB, DKBK, DHHBK, DKO);
e. Laporan Mutasi Hasil Hutan (LMKB, LMKBK, LMHHBK, LMKO, LMHHOBK);
f. Dokumen Angkutan Hasil Hutan (FA-KB/FA-HHBK/FA-KO).
(3) Model DKB adalah blanko yang ditetapkan dan dicetak oleh Pemerintah :
a. Daftar Pemeriksaan Hasil Hutan;
b. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB);
c. Surat Angkutan Lelang (SAL);
d. Berita Acara Pemeriksaan;
e. Daftar Laporan Produksi Hasil Hutan;
f. Pengelolaan Blanko Dokumen Angkutan;
g. Daftar Laporan Angkutan Hasil Hutan;
h. Daftar Laporan Produksi Kayu Olahan;
i. Daftar Gabungan Laporan Produksi Hasil Hutan;
j. Daftar Gabungan Laporan Angkutan;
k. Daftar Gabungan Laporan Hasil Hutan Olahan;
l. Daftar Gabungan Pemeriksaan Hasil Hutan.
(4) Khusus untuk blanko dokumen angkutan (SKSKB, FA-KB, FA-HHBK, FA-KO, SAL)
apabila dipandang perlu, format blanko dan tatacara pengisiannya dapat diubah
sesuai dengan perkembangan kondisi yang ada.
(5) Perubahan format blanko dan tatacara pengisiannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilakukan oleh Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Kodefikasi
Pasal 46
(1) Pembakuan Kode Provinsi, Kabupaten/Kota dalam Penatausahaan Hasil Hutan
mengikuti kodefikasi yang berlaku.
(2) Pembakuan kode blanko penatausahaan hasil hutan diatur sebagai berikut :
a. Blanko-blanko yang berkaitan dengan penatausahaan hasil hutan ditetapkan
formatnya oleh Departemen Kehutanan,
b. Blanko dengan kodefikasi DKA, adalah blanko yang digunakan oleh perusahaan,
dan nomornya diawali dengan angka ganjil (contoh : DKA.102, DKA.103, DKA.301
dan seterusnya),
c. Blanko dengan kodefikasi DKB, adalah blanko yang digunakan oleh
petugas/pejabat pemerintah dan nomor blankonya diawali dengan angka genap
(contoh : DKB.201, DKB.203, DKB.401 dan seterusnya).
(3) Ketentuan Nomor Seri Blanko SKSKB, FA-KB, FA-HHBK dan FA-KO diatur sebagai
berikut :
a. Penetapan nomor seri blanko dokumen SKSKB yang terdiri dari tujuh digit angka
latin, dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal.
b. Penetapan nomor seri blanko FA-KB untuk pengangkutan KB/KBK dari hutan
tanaman dan KBK dari hutan alam yang terdiri dari enam digit angka latin,
dilaksanakan oleh Direktur Jenderal.
c. Penetapan nomor seri blanko FA-KB lanjutan/FA-HHBK dan FA-KO yang terdiri
dari enam digit angka latin dilaksanakan oleh pemilik hasil hutan dengan cara
memberi kode Kabupaten/Kota asal KB dan nomor seri dan diberi cap Dinas
Kabupaten/Kota.
BAB VII
PENATAUSAHAAN BLANKO
DALAM PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN
Bagian Kesatu
Pengadaan Blanko
Pasal 47
(1) Blanko model DKA, pengadaannya diatur sebagai berikut :
a. LHC Hutan Alam, oleh Perusahaan pemegang IUPHHK Alam dan IPK.
b. LHC Tegakan Hutan Tanaman, oleh Perusahaan pemegang IUPHHK Tanaman.
c. Buku Ukur, oleh Perusahaan Pemegang IUPHHK dan IPK.
d. LHP-KB/LHP-KBK, oleh Perusahaan Pemegang IUPHHK dan IPK.
e. LP-HHBK, oleh Perusahaan pemegang IPHHBK.
f. DKB/DKBK, oleh Perusahaan Pemegang IUPHHK, IPK dan pemilik TPK Antara.
g. DKO, oleh Perusahaan Industri/Pemilik KO dan Pemilik Tempat Penampungan
Terdaftar .
h. LMKB dan atau LMKBK di hutan, oleh Perusahaan Pemegang IUPHHK dan IPK.
i. LMKB dan atau LMKBK di TPK Antara, oleh Perusahaan pemilik TPK Antara.
j. LMKB dan atau LMKBK di TPK Industri, oleh Perusahaan Pemilik Industri.
k. LMHHBK, oleh Perusahaan Pemegang IPHHBK.
l. LMKO, oleh Perusahaan Industri/Pemilik KO dan Pemilik Tempat Penampungan
Terdaftar.
m. LMHHOBK, oleh Perusahaan Pemilik hasil hutan olahan bukan kayu,
n. FA-KB, oleh Perusahaan Pemegang IUPHHK, IPK, IUIPHHK/Industri Chip dan atau
Pulp, dicetak di perusahaan percetakan sekuriti.
o. FA-HHBK, oleh Perusahaan Pemegang HHBK, dan dicetak di perusahaan
percetakan umum setempat.
p. FA-KO, oleh Perusahaan Pemilik KO, dan dicetak di perusahaan percetakan umum
setempat.
(2) Blanko model DKB, berupa :
a. SKSKB, pengadaannya oleh Direktorat Jenderal dan dicetak di perusahaan
percetakan sekuriti dengan prosedur sesuai ketentuan yang berlaku.
b. SAL, pengadaannya oleh Dinas Kabupaten/Kota dan dicetak di perusahaan
percetakan umumsetempat.
(3) Blanko model DKB, berupa blanko pelaporan, pengadaannya diatur sebagai berikut :
a. Daftar Pemeriksaan Hasil Hutan, oleh Dins Kabupaten/Kota.
b. Berita Acara Pemeriksaan (BAP), oleh Dinas Kabupaten/Kota.
c. Daftar Laporan Produksi, oleh Dinas Kabupaten/Kota.
d. Pengelolaan Blanko Dokumen Angkutan, oleh Dinas Kabupaten/Kota.
e. Daftar Laporan Angkutan Hasil Hutan, oleh Dinas Kabupaten/Kota.
f. Daftar Laporan Produksi Hasil Hutan Olahan, oleh Dinas Kabupaten/Kota.
g. Daftar Gabungan Laporan Hasil Penebangan, oleh Dinas Provinsi.
h. Daftar Gabungan Laporan Angkutan Hasil Hutan, oleh Dinas Provinsi.
i. Daftar Gabungan Laporan Hasil Produksi Hasil Hutan Olahan, oleh Dinas Provinsi.
j. Daftar Gabungan Rekapitulasi Pemeriksaan Hasil Hutan, oleh Dinas Provinsi.
Bagian Kedua
Perencanaan, dan Pendistribusian Blanko SKSKB
Paragraf Kesatu
Perencanaan Pengadaan Blanko SKSKB
Pasal 48
(1) Menteri menyusun rencana pengadaan blanko SKSKB berdasarkan kuota/RKTUPHHK
hutan alam dan dari rencana tebangan dari perizinan yang sah lainnya.
(2) Rencana pembuatan blanko sebagaimana dimaksud ayat (1) mempertimbangkan
rencana kebutuhan blanko SKSKB selama 1 (satu) tahun yang dibuat oleh Dinas
Provinsi berdasarkan atas pertimbangan target produksi tahunan kayu bulat dan KBK
dari perizinan yang sah dan sisa stock kayu bulat tahun sebelumnya, dan
disampaikan kepada Direktur Jenderal.
(3) Berdasarkan rencana sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) Direktur Jenderal
mencetak blanko SKSKB.
Paragraf Kedua
Pendistribusian Blanko SKSKB
Pasal 49
(1) Dinas Provinsi mengajukan permohonan blanko SKSKB maksimal untuk penggunaan
selama 3 bulan, dari kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2).
(2) Berdasarkan permohonan Kepala Dinas Provinsi sebagaimana dimaksud ayat (1),
Direktur Jenderal melakukan penilaian dan menyetujui permohonan penggunaan
blanko SKSKB.
(3) Kepala Dinas Kabupaten mengajukan permohonan blanko SKSKB kepada Kepala
Dinas Provinsi berdasarkan kebutuhan sesuai target tebangan dari perizinan yang
sah yang ada di Kabupaten setempat.
(4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (3), Kepala Dinas Provinsi
melakukan penilaian dan menyetujui permohonan penggunaan blanko SKSKB di
Kabupaten setempat.
(5) Pendistribusian blanko SKSKB di tingkat Kabupaten dilakukan oleh Kepala Dinas
Kabupaten yang selanjutnya digunakan oleh Pejabat Penerbit SKSKB.
Bagian Ketiga
Penetapan Format Dokumen Angkutan
Pasal 50
(1) Blanko SKSKB, FA-KB, FA-HHBK, FA-KO dan SAL pencetakannya menggunakan
format sebagaimana terlampir pada Lampiran I.
(2) Warna blanko FA-KB, FA-HHBK dan FA-KO dibedakan menurut :
a. Provinsi di Jawa dan Madura, Bali, NTB, NTT menggunakan warna dasar putih.
b. Provinsi di Sumatera menggunakan warna dasar kuning.
c. Provinsi di Kalimantan menggunakan warna dasar merah.
d. Provinsi di Sulawesi menggunakan warna dasar biru.
e. Provinsi di Maluku, Irian Jaya Barat dan Papua menggunakan warna dasar hijau.
(3) Khusus untuk blanko dokumen angkutan (SKSKB, FA-KB, FA-HHBK, FA-KO, SAL)
apabila dipandang perlu, format blanko dan tatacara pengisiannya dapat diubah
sesuai dengan perkembangan kondisi yang ada.
(4) Perubahan format blanko dan tatacara pengisiannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan oleh Direktur Jenderal.
Bagian Keempat
Penatausahaan, Penyimpanan dan Penghapusan
Blanko Angkutan Hasil Hutan
Pasal 51
(1) Penatausahaan blanko angkutan hasil hutan diatur sebagai berikut :
a. Direktur Jenderal menetapkan personil pengelola blanko angkutan hasil hutan di
Direktorat Jenderal serta tata cara penatausahaannya;
b. Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota bertanggung jawab
terhadap keamanan blanko angkutan hasil hutan.
c. Kepala Dinas Provinsi/Kepala Dinas Kabupaten/Kota, menetapkan personil
Pengelola blanko angkutan hasil hutan, yang bertanggung jawab atas
penerimaan, pendistribusian, penggunaan dan persediaan.
d. Personil pengelola sebagaimana dimaksud pada huruf a dan c wajib membuat
Daftar mutasi blanko
(2) Blanko SKSKB yang berada di Dinas Provinsi/Dinas Kabupaten/Kota dan para
Pejabat Penerbit, wajib disimpan di tempat yang aman dari gangguan pencurian atau
kerusakan;
(3) Tata cara penghapusan blanko SKSKB adalah sebagai berikut :
a. Kerusakan blanko SKSKB pada waktu pengiriman, penyimpanan sebagai akibat
dimakan rayap, salah cetak, dan lain-lain, wajib dibuatkan Berita Acara
Pembatalan oleh pengelola blanko dan diketahui oleh Kepala Dinas Provinsi atau
Dinas Kabupaten/Kota bersangkutan. Terhadap blanko SKSKB yang rusak
tersebut diberi tanda cap “TIDAK BERLAKU” pada lembar pertama dan kedua
pada pojok kanan atas oleh pengelola blanko;
b. Kesalahan pengisian blanko SKSKB oleh pejabat/petugas penerbit wajib dibuatkan
Berita Acara Pembatalan dengan menggunakan format sesuai lampiran VI a dan
dimatikan dengan diberi tanda cap “TIDAK BERLAKU’ pada lembar pertama dan
kedua, pada sudut kanan atas;
c. Berita Acara Pembatalan blanko SKSKB/FA-KB/FA-HHBK akibat kesalahan
pengisian, wajib dicatat dalam buku register oleh pejabat/petugas penerbit,
dilaporkan dan diserahkan kepada pengelola blanko pada setiap pertanggung
jawaban penggunaan blanko;
d. Terhadap blanko SKSKB/FA-KB/FA-HHBK yang rusak dan telah dibuat Berita acara
pembatalan wajib dicatat dalam buku register oleh pengelola blanko, dilaporkan
dan diserahkan kepada Kepala Dinas Provinsi pada setiap akhir bulan atau pada
setiap pertanggung jawaban penggunaan blanko, sebagai dasar penghapusan
untuk dimusnahkan;
e. Khusus untuk penghapusan blanko SKSKB sebagaimana dimaksud pada huruf d,
wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal untuk dibuatkan persetujuan
penghapusan untuk dimusnahkan;
f. Pemusnahan dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sekali oleh Tim Penghapusan
yang dibentuk oleh Kepala Dinas Provinsi yang anggotanya terdiri dari sekurangkurangnya
1 orang wakil dari Dinas Provinsi;
g. Setiap penghapusan wajib dibuatkan Berita Acara Penghapusan dokumen
dengan menggunakan format sesuai lampiran VI b dan wajib dicatat dalam buku
register oleh pengelola blanko, dan Kepala Dinas Provinsi wajib melaporkan
hasilnya kepada Direktur Jenderal;
(4) Pembatalan dan penghapusan blanko SKSKB/FA-KB/FA-HHBK yang hilang diatur
sebagai berikut :
a. Apabila terjadi kehilangan blanko sewaktu pengiriman maupun penyimpanan
sebagai akibat dicuri atau tercecer, wajib dilaporkan oleh pengelola blanko
kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan selanjutnya
dilaporkan kepada Kepolisian untuk dibuatkan berita acara;
b. Berdasarkan laporan dan berita acara kehilangan dari Kepolisian, wajib
dilaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi untuk proses pembatalan;
c. Kepala Dinas Provinsi dalam waktu 2 x 24 jam setelah menerima laporan
kehilangan segera menerbitkan keputusan tentang pembatalan blanko
SKSKB/FA-KB/FA-HHBK tersebut dan untuk blanko SKSKB disampaikan kepada
Kepala Dinas Provinsi di seluruh Indonesia dengan tembusan Direktur Jenderal;
d. Apabila .....
46
d. Apabila blanko sebagaimana dimaksud huruf a dikemudian hari ditemukan, maka
blanko tersebut wajib diserahkan kepada pihak Kepolisian untuk kepentingan
pembuktian dan pengusutan/penyidikan lebih lanjut;
e. Setelah blanko dikembalikan oleh pihak Kepolisian karena perkara sudah
diputuskan dan berdasarkan putusan hakim blanko tersebut dirampas untuk
negara serta blanko tersebut sudah tidak diperlukan lagi untuk kepentingan
penyidikan dan penuntutan, maka segera dikirim kepada Dinas Provinsi untuk
dimusnahkan dengan tata cara sesuai ayat (3) butir e.
BAB VIII
P E L A P O R A N
Pasal 52
(1) Kepala Dinas Kabupaten/Kota setelah menerima LHP-KB/LHP-KBK/LP-HHBK lembar
kesatu dari perusahaan/perorangan, setiap bulan wajib membuat DLHP-KB/DLHPKBK/
DLP-HHBK dengan menggunakan blanko model DKB 202a/DKB.202b/DKB.202c,
sebanyak 3 (tiga) rangkap dan disampaikan selambat-lambatnya setiap tanggal 15
bulan yang sama menyampaikan kepada :
a. lembar kesatu, untuk Kepala Dinas Provinsi;
b. lembar kedua, untuk Balai;
c. lembar ketiga, untuk arsip.
(2) Kepala Dinas Provinsi setelah menerima DLHP-KB/DLHP-KBK/DLP-HHBK lembar
kesatu dari Dinas Kabupaten/Kota, setiap bulan wajib membuat DGLHP-KB/DGLHPKBK/
DGLP-HHBK dengan menggunakan blanko model
DKB.206a/DKB.206b/DKB.206c, sebanyak 2 (dua) rangkap dan disampaikan
selambat-lambatnya setiap tanggal 20 bulan yang sama dengan peruntukan:
a. lembar kesatu, untuk Direktur Jenderal;
b. lembar kedua, untuk arsip.
(3) Laporan penerimaan, distribusi dan penggunaan blanko SKSKB dan FA-KB diatur
sebagai berikut :
a. Penerbit SKSKB pada setiap akhir bulan yang bersangkutan wajib membuat
Daftar Penerbitan SKSKB dengan menggunakan blanko model DKB.203a dan
membuat Daftar Penerimaan, Penerbitan dan Persediaan Blanko SKSKB dengan
menggunakan blanko model DKB.203c, disampaikan kepada instansi yang
menyerahkan;
b. Penerbit FA-KB/FA-HHBK/FA-KO, setiap akhir bulan yang bersangkutan wajib
membuat Daftar Penerbitan FA-KB/FA-HHBK/FA-KO dengan menggunakan blanko
model DKB.203b dan disampaikan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
c. Dinas Kabupaten/Kota setiap tanggal 5 bulan berikutnya wajib membuat Daftar
Penerimaan, Penyerahan dan Persediaan Blanko SKSKB dengan menggunakan
blanko model DKB.203d dan disampaikan kepada Dinas Provinsi setempat;
d. Dinas Provinsi setiap triwulan wajib membuat Rekapitulasi Penerimaan,
Penyerahan dan Persediaan Blanko SKSKB dengan menggunakan blanko model
DKB.203g dan disampaikan kepada Direktur Jenderal;
(4) Kepala Dinas Kabupaten/Kota setelah menerima Daftar Penerbitan SKSKB dan Daftar
Penerbitan FA-KB/FA-HHBK/FA-KO dari pejabat penerbit, setiap bulan wajib
membuat Daftar Laporan Angkutan Hasil Hutan (DLAHH) Dalam Negeri dengan
blanko model DKB.204a atau DLAHH Ekspor dengan menggunakan blanko model
DKB.204b sebanyak 3 (tiga) rangkap dan disampaikan selambat-lambatnya setiap
tanggal 5 bulan yang sama dengan peruntukan :
a. lembar kesatu, untuk Kepala Dinas Provinsi;
b. Lembar kedua, untuk Kepala Balai;
c. Lembar ketiga, untuk arsip.
(5) Kepala Dinas Provinsi setelah menerima DLAHH dari Kepala Dinas Kabupaten,
setiap bulan wajib membuat Daftar Gabungan Laporan Angkutan Hasil Hutan
(DGLAHH) Dalam Negeri dengan menggunakan blanko model DKB. 207a atau
DGLAHH Ekspor dengan menggunakan blanko model DKB.207b, sebanyak 2 (dua)
rangkap dan disampaikan selambat-lambatnya setiap tanggal 10 bulan yang sama
dengan peruntukan :
a. Lembar kesatu, untuk Direktur Jenderal;
b. Lembar kedua, untuk arsip.
(6) P3KB di Industri atau TPK Antara, setelah melakukan pemeriksaan, setiap bulan
wajib membuat Rekapitulasi Pemeriksaan Hasil Hutan (RPHH) dengan menggunakan
blanko model DKB.201f, sebanyak 3 (tiga) rangkap dengan peruntukan :
a. lembar kesatu, untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
b. lembar kedua, untuk Balai setempat; dan
c. lembar ketiga, untuk arsip P3KB.
(7) Kepala Dinas Kabupaten/Kota setelah menerima RPHH lembar kesatu, setiap bulan
wajib membuat Daftar Rekapitulasi Pemeriksaan Hasil Hutan (DRPHH) dengan
blanko model DKB.201g, sebanyak 3 (tiga) rangkap dan disampaikan selambatlambatnya
setiap tanggal 5 bulan yang sama dengan peruntukan :
a. lembar kesatu, untuk Kepala Dinas Provinsi;
b. lembar kedua, untuk Balai; dan
c. lembar ketiga, untuk arsip.
(8) Kepala Dinas Provinsi setelah menerima DRPHH, setiap bulan wajib membuat Daftar
Gabungan Rekapitulasi Pemeriksaan Hasil Hutan (DGRPHH) dengan menggunakan
blanko model DKB.209, sebanyak 2 (dua) rangkap dan disampaikan selambatlambatnya
setiap tanggal 10 bulan yang sama dengan peruntukan :
a. lembar kesatu, untuk Direktur Jenderal; dan,
b. lembar kedua, untuk arsip.
(9) Kepala Dinas Kabupaten/Kota setelah menerima LMHHOK/LMHHOBK lembar kesatu
dari pemegang izin, setiap bulan wajib membuat Daftar Laporan Produksi Hasil
Hutan Olahan-Kayu (DLPHHO-K) dengan blanko model DKB.205a atau Daftar
Laporan Produksi Hasil Hutan Olahan-Bukan Kayu (DLPHHO-BK) dengan blanko
model DKB.205b sebanyak 3 (tiga) rangkap dan disampaikan selambat-lambatnya
setiap tanggal 5 bulan yang sama dengan peruntukan :
a. lembar kesatu, untuk Kepala Dinas Provinsi;
b. lembar kedua, untuk Balai; dan
c. lembar ketiga, untuk arsip.
(10) Kepala Dinas Provinsi setelah menerima DLPHHO-K atau DLPHHO-BK dari Kepala
Dinas Kabupaten/Kota, setiap bulan wajib membuat Daftar Gabungan Laporan
Produksi Hasil Hutan Olahan-Kayu (DGLPHHO-K) dengan menggunakan blanko
model DKB. 208a dan Daftar Gabungan Laporan Hasil Produksi Hasil Hutan Olahan-
Bukan Kayu (DGLPHHO-BK) dengan blanko model DKB. 208b sebanyak 2 (dua)
rangkap dan dilaporkan selambat-lambatnya setiap tanggal 10 bulan yang sama
dengan peruntukan :
a. lembar kesatu, untuk Direktur Jenderal; dan
b. lembar kedua, untuk arsip.
Pasal 53
(1) Pemegang izin ekspor hasil hutan, setiap bulan wajib melaporkan realisasi ekspor
kepada Dinas Kabupaten/Kota selambat-lambatnya setiap tanggal 5 bulan
berikutnya.
(2) Semua badan usaha atau perorangan yang melakukan impor hasil hutan berupa
kayu bulat dan atau gergajian wajib melaporkan kepada Dinas Provinsi atau Dinas
Kabupaten/Kota dengan dilengkapi copy dokumen impor.
(3) Pemegang izin pemungutan/pengumpulan/penampungan/industri HHBK yang
melakukan ekspor HHBK yang berasal dari kawasan hutan negara, setiap bulan wajib
melaporkan realisasi ekspor kepada Dinas Kabupaten/Kota selambat-lambatnya
setiap tanggal 5 bulan berikutnya.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 54
(1) Direktorat Jenderal melaksanakan pembinaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan
penatausahaan hasil hutan di dalam hutan dan atau di luar kawasan hutan.
(2) Dalam hal tertentu, Direktorat Jenderal dapat melaksanakan audit peredaran hasil
hutan terhadap Pemegang Izin yang sah.
(3) Pelaksanaan audit sebagaimana dimaksud ayat (2) dilaksanakan bersama-sama
dengan Dinas Provinsi/Dinas Kabupaten/Kota.
(4) Tata cara pelaksanaan audit ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
(5) Dinas Provinsi melaksanakan pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan
penatausahaan hasil hutan di wilayah kerjanya.
(6) Dinas Kabupaten/Kota melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanakan penatausahaan hasil hutan di wilayah kerjanya.
(7) Balai melaksanakan bimbingan dan pengawasan teknis terhadap pelaksanakan
penatausahaan hasil hutan di wilayah kerjanya.
Pasal 55
(1) Untuk mengetahui kebenaran laporan penerimaan, pengolahan, produksi,
pemasaran/penjualan/pengangkutan dan persediaan KB/KBK/KO, dilakukan stock
opname di tempat-tempat di mana terdapat mutasi KB/KBK/KO oleh Dinas
Kabupaten/Kota dan atau oleh Dinas Provinsi.
(2) Stock opname sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan pada setiap
akhir tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan atau pada akhir masa berlakunya
perizinan yang sah.
BAB X
KETENTUAN KEBENARAN ANTARA FISIK KAYU BULAT
DENGAN DOKUMEN ANGKUTAN
Pasal 56
(1) Setiap pengangkutan, penguasaan atau pemilikan KB wajib dilengkapi bersama-sama
dengan dokumen SKSKB/FA-KB yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Dalam pengangkutan KB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan benar
apabila antara fisik KB yang diangkut sama atau sesuai dengan yang tercantum dalam
dokumen angkutan yang menyertainya.
(3) Pengertian sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah apabila :
a. Nomor-nomor pada setiap batang KB sesuai dengan yang tercantum dalam
dokumen; dan
b. Kelompok jenis sama dengan kelompok jenis yang tercantum dalam dokumen; dan
c. Volume setiap batang KB sama dengan yang tercantum dalam dokumen dengan
ketentuan selisih volumenya tidak melebihi dari toleransi 5 %, dan perbedaan
ukuran (panjang dan diameter) dari setiap batang yang dibandingkan
perbedaannya tidak melebihi toleransi yang berlaku.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (2) terlebih dahulu harus dibuktikan oleh
P3KB melalui pemeriksaan sebagaimana diatur dalam lampiran III dan apabila
terdapat indikasi pelanggaran, dilanjutkan pemeriksaan sesuai lampiran IV.
(5) Dalam pengangkutan hasil hutan, pengirim, pengangkut dan penerima bertanggung
jawab atas kebenaran dokumen maupun fisik hasil hutan yang diangkut.
BAB XI
PELANGGARAN DAN SANKSI
Bagian Kesatu
Pelanggaran
Pasal 57
Yang dimaksud dengan pelanggaran dalam peredaran kayu bulat adalah :
a. Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 ayat (3)
ditemukan fisik KB yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari kriteria
sebagaimana dimaksud pada ketentuan Pasal 56 ayat (2).
b. Apabila berdasarkan audit peredaran hasil hutan sebagaimana dimaksud Pasal 54 ayat
(2) ditemukan selisih jumlah/volume KB/KO.
Bagian Kedua
Sanksi
Pasal 58
Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 57 dikenakan sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XII
KETENTUAN LAIN
Pasal 59
(1) P2LHP/P2LPHHBK, P2SKSKB dan P3KB sesuai tugas dan tanggung jawabnya,
diberikan insentif berupa tunjangan.
(2) Besaran dan tatacara pemberian tunjangan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
(1) Blanko SKSHH yang sudah dicetak dapat digunakan sebagai dokumen angkutan dan
dipersamakan dengan blanko SKSKB.
(2) TPK Antara yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku
sebelum berlakunya Peraturan ini, tetap berlaku sebagai TPK Antara berdasarkan
Peraturan ini.
(3) TPK Antara atau Tempat Penampungan yang selama ini belum terdaftar/belum ada
izin dapat diberikan pengakuan untuk menerbitkan FA-KB setelah melalui verifikasi
lokasi dan kepemilikan.
(4) Pengangkutan KBK dengan tujuan Industri Chip dan atau Pulp dengan menggunakan
FA-BBS, tetap diperkenankan menggunakan FA-BBS sampai persediaan blanko FABBS
habis atau sampai batas waktu yang ditetapkan kemudian.
(5) Pengangkutan kayu yang berasal dari hutan hak untuk jenis-jenis yang belum
ditetapkan untuk menggunakan SKAU, maka sejak berlakunya peraturan ini,
menggunakan dokumen angkutan SKSKB dengan cap “KR”.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
Dengan diberlakukannya peraturan ini, maka :
a. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/KPTS-II/2003 jis. Nomor 334/Kpts-II/2003;
Nomor279/Menhut-II/2004; Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2005
tentang Penatausahaan Hasil Hutan;
b. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 127/Kpts-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil
Hutan Yang Berasal Dari Wilayah Kerja Perhutani untuk Provinsi di Wilayah Jawa;
c. Ketentuan lain yang bertentangan dengan Peraturan ini,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 62 .....
52
Pasal 62
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku efektif 60
(enam puluh) hari sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal : 29 Agustus 2006
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi, MENTERI KEHUTANAN,
ttd.
SUPARNO, SH. H. M.S. KABAN, SE.,M.Si
NIP. 080068472
Salinan Peraturan disampaikan kepada Yth. :
1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
2. Menteri Dalam Negeri;
3. Menteri Perindustrian;
4. Menteri Perdagangan;
5. Menteri Perhubungan;
6. Jaksa Agung;
7. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
8. Pejabat Eselon I lingkup Departemen Kehutanan;
9. Direksi Perum Perhutani;
10. Gubernur Provinsi seluruh Indonesia;
11. Kepala Kepolisian Daerah seluruh Indonesia;
12. Bupati/Walikota seluruh Indonesia;
13. Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional I s.d. IV;
14. Kepala Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di
daerah Provinsi di seluruh Indonesia;
15. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
kehutanan di daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia;
16. Kepala Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan Wilayah I s.d. XVII.